Senin, 19 Oktober 2009

Menggapai Keberkahan Hidup


Setiap orang tentu saja ingin memperoleh keberkahan dalam hidupnya di dunia ini. Karena itu kita selalu berdo’a dan meminta orang lain mendo’akan kita agar segala sesuatu yang kita miliki dan kita upayakan memperoleh keberkahan dari Allah SWT. Secara harfiyah, berkah berarti an nama’ waz ziyadah yakni tumbuh dan bertambah, ini berarti Berkah adalah kebaikan yang bersumber dari Allah yang ditetapkan terhadap sesuatu sebagaimana mestinya sehingga apa yang diperoleh dan dimiliki akan selalu berkembang dan bertambah besar manfaat kebaikannya. Kalau sesuatu yang kita miliki membawa pengaruh negatif, maka kita berarti tidak memperoleh keberkahan yang diidamkan itu.



Namun, Allah SWT tidak sembarangan memberikan keberkahan kepada manusia. Ternyata, Allah SWT hanya akan memberi keberkahan itu kepada orang yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Janji Allah SWT untuk memberikan keberkahan kepada orang yang beriman dan bertaqwa dikemukakan dalam firman-Nya yang artinya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS 7:96).

Apabila manusia, baik secara pribadi maupun kelompok atau masyarakat memperoleh keberkahan dari Allah SWT, maka kehidupannya akan selalu berjalan dengan baik, rizki yang diperolehnya cukup bahkan melimpah, sedang ilmu dan amalnya selalu memberi manfaat yang besar dalam kehidupan. Disilah letak pentingnya bagi kita memahami apa sebenarnya keberkahan itu agar kita bisa berusaha semaksimal mungkin untuk meraihnya.

BENTUK KEBERKAHAN

Secara umum, keberkahan yang diberikan Allah SWT kepada orang-orang yang beriman bisa kita bagi kedalam tiga bentuk.

Pertama, berkah dalam keturunan, yakni dengan lahirnya generasi yang shaleh. Generasi yang shaleh adalah yang kuat imannya, luas ilmunya dan banyak amal shalehnya, ini merupakan sesuatu yang amat penting, apalagi terwujudnya generasi yang berkualitas memang dambaan setiap manusia. Kelangsungan Islam dan umat Islam salah satu faktornya adalah adanya topangan dari generasi yang shaleh. Generasi semacam itu juga memiliki jasmani yang kuat, memiliki kemandirian termasuk dalam soal harta dan bisa menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya. Keberkahan semacam ini telah diperoleh Nabi Ibrahim as dan keluarganya yang ketika usia mereka sudah begitu tua ternyata masih dikaruniai anak, bahkan tidak hanya Ismail yang shaleh, sehat dan cerdas, tapi juga Ishak dan Ya’kub. Di dalam Al-Qur’an keberkahan semacam ini diceritakan oleh Allah yang artinya: “Dan isterinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang kelahiran Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya’kub. Isterinya berkata: "Sungguh mengherankan, apakah aku aka melairkan anak, padahal aku adalah perempuan seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh". Para malaikat itu berkata: "Apakahkamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlul bait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah" (QS 11:71-73).

Kedua, keberkahan dalam soal makanan yakni makanan yang halal dan thayyib, hal ini karena ulama ahli tafsir, misalnya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa keberkahan dari langit dan bumi sebagaimana yang disebutkan dalam firman surat Al A’raf: 96 di atas adalah rizki yang diantara rizki itu adalah makanan. Yang dimaksud makanan yang halal adalah disamping halal jenisnya juga halal dalam mendapatkannya, sehingga bagi orang yang diberkahi Allah, dia tidak akan menghalalkan segala cara dalam memperoleh nafkah. Di samping itu, makanan yang diberkahi juga adalah yang thayyib, yakni yang sehat dan bergizi sehingga makanan yang halal dan tayyib itu tidak hanya mengenyangkan tapi juga dapat menghasilkan tenaga yang kuat untuk selanjutnya dengan tenaga yang kuat itu digunakan untuk melaksanakan dan menegakkan nilai-nilai kebaikan sebagai bukti dari ketaqwaannya kepada Allah Swt, Allah berfirman yang artinya: Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah rizkikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya (QS 5:88).

Karena itu, agar apa yang dimakan juga membawa keberkahan yang lebih banyak lagi, meskipun sudah halal dan thayyib, makanan itu harus dimakan sewajarnya atau secukupnya, hal ini karena Allah sangat melarang manusia berlebih-lebihan dalam makan maupun minum, Allah Swt berfirman yang artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indak di setiap memasuki masjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (7:31).

Ketiga, berkah dalam soal waktu yang cukup tersedia dan dimanfaatkannya untuk kebaikan, baik dalam bentuk mencari harta, memperluas ilmu maupun memperbanyak amal yang shaleh, karena itu Allah menganugerahi kepada kita waktu, baik siang maupun malam dalam jumlah yang sama, yakni 24 jam setiap harinya, tapi bagi orang yang diberkahi Allah maka dia bisa memanfaatkan waktu yang 24 jam itu semaksimal mungkin sehingga pencapaian sesuatu yang baik ditempuh dengan penggunaan waktu yang efisien. Sudah begitu banyak manusia yang mengalami kerugian dalam hidup ini karena tidak bisa memanfaatkan waktu dengan baik, sementara salah satu karakteristik waktu adalah tidak akan bisa kembali lagi bila sudah berlalu, Allah berfirman yang artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS 103:1-3).

Karena itu, bagi seorang muslim yang diberkahi Allah, waktu digunakan untuk bisa membuktikan pengabdiannya kepada Allah Swt, meskipun dalam berbagai bentuk usaha yang berbeda, Allah berfirman yang artinya: “Demi malam apabila menutupi, dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (harta di jalan Allah) dan bertaqwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (92:1-7).

KUNCI KEBERKAHAN.

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa sebagai seorang muslim, keberkahan dari Allah untuk kita merupakan sesuatu yang amat penting. Karena itu, ada kunci yang harus kita miliki dan usahakan dalam hidup ini. Sekurang-kurangnya, ada dua faktor yang menjadi kunci keberkahan itu.

1. Iman dan Taqwa Yang Benar

Di dalam ayat di atas, sudah dikemukakan bahwa Allah akan menganugerahkan keberkahan kepada hamba-hambanya yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Semakin mantap iman dan taqwa yang kita miliki, maka semakin besar keberkahan yang Allah berikan kepada kita. Karena itu menjadi keharusan kita bersama untuk terus memperkokoh iman dan taqwa kepada Allah Swt. Salah satu ayat yang amat menekankan peningkatan taqwa kepada orang yang beriman adalah firman Allah yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwadan jangan sampai kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri/muslim (QS 3:102).

Keimanan dan ketaqwaan yang benar selalu ditunjukkan oleh seorang mu’min dalam bentuk melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam keadaan sendiri maupun bersama orang lain. Tegasnya keimanan dan ketaqwaan itu dibuktikan dalam situasi dan kondisi yang bagaimananpun juga dan dimanapun dia berada.

2. Berpedoman kepada Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber keberkahan sehingga apabila kita menjalankan pesan-pesan yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan berpedoman kepadanya dalam berbagai aspek kehidupan, nicaya kita akan memperoleh keberkahan dari Allah Swt, Allah berfirman yang artinya: Dan Al-Qur’an ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya? (QS 21:50, lihat juga QS 38:29.6:155).

Karena harus kita jalankan dan pedomani dalam kehidupan ini, maka setiap kita harus mengimani kebenaran Al-Qur’an bahwa dia merupakan wahyu dari Allah Swt sehingga tidak akan kita temukan kelemahan dari Al-Qur’an, selanjutnya bisa dan suka membaca serta menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari, baik menyangkut aspek pribadi, keluarga, masyarakat maupun bangsa.

Akhirnya menjadi jelas bagi kita bahwa, keberkahan dari Allah yang kita dambakan itu, memperolehnya harus dengan berdo’a dan berusaha yang sungguh-sungguh, yakni dalam bentuk memantapkan iman dan taqwa serta selalu menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam hidup ini.

Senin, 05 Oktober 2009

KABAR TAK TERDUGA

Pagi ini Slamet hanya duduk di depan dipan yang berada di depan rumahnya, sambil menikmati semilirnya udara pagi yang sejuk. Tapi, Slamet kelihatan seperti orang yang nelangsa. Dia meratapi nasib yang sedang menimpanya. Sekian banyak dari pemuda di kampungnya, hanya dia yang masih menganggur. Slamet merasa malu kepada teman dan tetangganya ketika di rumah hanya duduk-duduk saja.

Oalah le, timbang nganggur mending cari kerja sana.” Kata-kata bapaknya membuyarkan lamunannya ketika Slamet sedang asyik melamun.

“Aku juga pengen kerja, tapi bagimana lagi pak, sekarang cari kerja susah.” Jawabnya dengan wajah memelas.

“Memang cari sesuap nasi itu susah, butuh pengorbanan, jangan anggap enteng. Apa lagi kalau kamu besok sudah punya istri, tambah berat Le. Pokoknya kamu sekarang harus mulai mandiri, cari kerja.” Kata ibunya menambahkan.

Memang benar apa yang di katakan oleh ibunya itu. Sebagai laki-laki memang mempunyai tanggung jawab yang berat. Mencari nafkah untuk istri dan anaknya. Tapi bagaimanapun usaha itu juga harus kita lakukan untuk bisa menafkahi keluarga. Ibarat pepatah jawa ora obah ora mamah.

Slamet menenangkan pikirannya sejenak, lalu mulai berfikir dengan otak kecilnya. Slamet tetap berusaha bagaimanapun dia harus mendapat pekerjaan. Walaupun Slamet hanyalah anak dari seorang tukang becak yang kesehariannya hanya mendapatkan penghasilan 15.000. Tapi dengan penghasilan segitu yang penting keluarganya bisa makan. Dan Slamet juga tidak mau kalau terus-terusan masih menggantungkan sama orang tua. Dia merasa sudah dewasa dan sudah bisa mencari makan sendiri.

Slamet beranjak bangun dari tempat duduknya, dilangkahkan kakinya menuju sebuah lemari yang berada di samping kamarnya. Disana masih ada beberapa lembar koran yang dia simpan yang di belinya di pasar legi kemarin. Slamet membuka setiap halaman. Di cari halaman yang ada lowongan pekerjaan.

”Semoga ini bisa membantuku untuk mendapatkan pekerjaan.” Harapnya dalam hati.

Slamet terus mencari satu persatu pekerjaan yang pas buatnya. Ternyata kebanyakan pekerjaan yang di butuhkan adalah lulusan sarjana dan minimal lulusan SMA. Tapi bagi Slamet, dia hanya lulusan SMP apalagi dia tidak punya keahlian dalam bidang apapun. Baginya orang sepertinya sulit mencari lowongan di koran. Tapi semua itu tidak menjadikan hatinya surut, Slamet masih terus berfikir dan terus berusaha. Bagaimanapun dia harus dapat kerja.

Malam itu setelah Slamet selesai menjalankan shalat magrib. Tiba-tiba pintu rumahnya di ketuk oleh seseorang. segera ia menuju pintu, ditariknya gagang pintu dengan pelan.

“Lho, kok kamu kang Mar, kapan pulang dari jakarta?” Ujar Slamet setelah membuka pintu.

“Iya, kemarin Aku pulang.”

Di teruskan pembicaraan itu di ruang tamu. Slamet tidak percaya kalau yang datang itu Marno. Temennya sejak mereka masih duduk di bangku SD.

“Wah, ada kabar apa kang, kayaknya penting. Apa kamu sudah mau nikah?” Tanya Slamet sedikit bercanda.

“Ah…kau ini dek, kalau masalah itu aku belum ada rencana. Masih jauh.” Jawabnya sambil senyum.

“Gini dek Slamet, kedatanganku kesini mau mengajak dek Slamet kerja. Kebetulan di tempat kerjaku masih kekurangan tenaga. Kebetulan di kampung kita ini pemuda yang masih nganggur kayaknya hanya kamu. Jadi Aku mau ajak kamu kerja.”

“Weh, ladalah. Syurkurrrr. Kebetulan Aku juga mau cari kerja. Kapan kang kita berangkat?” Jawabnya senang.

“Besok kita sudah bisa mulai berangkat. Soalnya bosku sudah menyuruh untuk segera balik. Ada beberapa proyek yang harus segera di selsaikan.

Hati Slamet mulai senang, ketika mendengarkan berita semua itu. Slamet tak hentinya bersyukur akhirnya dia bisa mendapatkan pekerjaan. Walaupun pekerjaan itu di proyek dan apapun pekerjaannya itu semua adalah berkah yang tak terduga yang telah di berikan tuhan yang patut untuk di syukuri.

Siang hari, ketika matahari sudah berada di atas. Slamet sudah bersiap berangkat ke Jakarta. Sebenarnya orang tuanya tidak mengizinkan Slamet kerja merantau ke Jakarta. Orang tuanya khawatir kalau sampai terjadi dengan anak semata wayangnya itu. Apalagi bapaknya sekarang sering sakit-sakitan. Dia memaksa dirinya bekerja hingga larut malam demi sesuap nasi. Lelah dan lapar pun tidak di hiraukannya. Yang penting dalam benaknya keluarganya bisa makan.

Tapi dengan berat hati akhirnya orang tuanya mengizinkannya juga. Di peluk erat kedua orang tuanya. Matanya Slamet mulai berkaca-kaca ketika ia melepaskan pelukannya. Rasanya Slamet tidak tega meninggalkan kedua orang tuanya. Tapi harus bagaimana lagi, ini adalah resiko supaya Slamet mendapatkan uang.

Satu tahun lebih Slamet bekerja di Jakarta. Akhirnya Slamet mendapatkan uang juga atas semua jerit payahnya. Sudah lama Slamet tidak mendengar kabar tentang kedua orang tuannya di kampung. Dan rasa rindu telah terasa di hatinya. Besok Slamet berniat untuk pulang untuk melepas rindu bersama kedua orang tuanya. Sebelum dia pulang Slamet berniat membeli oleh-oleh dan baju untuk kedua orang tuannya.

Esok harinya, ketika Slamet bersiap untuk pulang. Slamet di kagetkan oleh kedatangan Mardi. Dengan membawa sebuah surat yang di bungkus rapi dengan amplop.

“Surat apa itu kang?” Tanya Slamet ketika memasukan bajunya ke dalam tas.

Marno hanya diam, dan kemudian duduk di samping Slamet. Sambil memberikan surat itu yang ia dapat dari tukang pos.

Sebetulnya Marno tidak tega memberikan surat itu kepada Slamet. Bagaimanapun, itu adalah surat untuk Slamet yang harus di sampaikan.

Belum selesai membaca seluruh isi surat Slamet langsung menangis menjerit. Dia tak kuasa menahan tangisnya. Dia tidak percaya dengan semua isi surat itu. Ternyata surat itu kabar bahwa bapaknya di kampung meninggal dunia. Bapaknya meninggal dunia akibat kecelakaan ketika menarik becak di perempatan jalan. Di mana tempat bapaknya mangkal. Pada saat itu ketika bapaknya sedang menyebrang jalan ingin menghapiri seorang nenek yang ingin menyewa becaknya. Tiba-tiba di sudut jalan ada sebuah mobil sedang melaju kencang. Tanpa di sadari akhirnya mobil tersebut menabrak becaknya hingga remuk. Dan bapaknya telempar ke tepi jalan. Akhirnya, sebelum di bawa ke rumah sakit nyawa tak bisa di selamatkan.

Klaten, 2009

Kamis, 01 Oktober 2009

Jangan Pernah Lelah Beramal

"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain". (Q.S. Al Insyirah: 7)


Ayyuhal Ikhwah rahimakumullah.

Tidak dipungkuri lagi dalam pandangan kita sebagai kader dakwah bahwa tabiat seorang mukmin sejati adalah berbuat, berbuat dan terus berbuat. Sehingga seluruh waktunya selalu diukur dengan produktivitas amalnya. Ia tidak akan pernah diam karena diam tanpa amal menjadi aib bagi orang beriman.


Seorang mukmin akan terus mencermati peluang-peluang untuk selalu berbuat. Maka perlu kita ingat dalam sanubari yang paling dalam bahwa 'nganggur' dapat menjadi pintu kehancuran. Tidaklah mengherankan banyak ayat maupun hadits yang memotivasi agar selalu berbuat dan berupaya untuk menghindari diri dari sikap malas dan lemah. Malas dan lemah berbuat dianggap sebagai sikap dan sifat buruk yang harus dijauhi orang-orang beriman.


Mengingat tugas dan tanggung jawab yang kita emban sangat besar dan masih banyak agenda yang menanti untuk diselesaikan maka segeralah untuk menyiapkan diri menunaikannya. Rasanya perlu dicamkan dalam benak pikiran kita akan nasehat syaikh Abdul Wahab Azzam: 'Pikiran tak dapat dibatasi, lisan tak dapat dibungkam, anggota tubuh tak dapat diam. Karena itu jika kamu tidak disibukan dengan hal-hal besar maka kamu akan disibukan dengan hal-hal kecil'.


Oleh karena itu Rasulullah SAW. segera memberangkatkan para sahabat dalam ekspedisi militer yang beruntun sesudah Badar untuk meminimalisir konflik internal yang amat mungkin terjadi lantaran berhenti sesudah amal besar.


Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.

Setiap kesempatan yang diberikan kepada seorang mukmin maka setiap saat itu pula ada satu kaedah perintah secara implisit untuk dapat mengukir prestasi dirinya. Agar apa yang dilakukannya dengan berputarnya waktu mampu disesuaikan dengan tuntutan zaman dan kapabilitas rijal-nya.

Seperti kaedah dakwah yang memaparkan, 'setiap dakwah ada marhalah (tahapan)nya dan setiap marhalah ada tuntutannya dan setiap tuntutan ada orangnya'.


Sangat mudah untuk dipahami bila setiap waktu ada tuntutannya maka kita mesti menyelaraskan diri agar sesuai dengannya. Tuntutan ini selaras dengan amanah yang diembankan kepada kita saat ini. Dan dalam pandangan Islam setiap amanah merupakan sesuatu tugas yang tidak boleh dikhianati atau diabaikan hingga tidak dapat menunaikannya dengan baik.


Inilah kesempatan emas bagi kita untuk mengukir ukiran terindah dalam hidup kita secara personal maupun kolektif agar kita mampu memberikan cermin indah bagi orang lain ataupun generasi berikutnya. Inilah saat yang tepat bagi kita mengukir prestasi. Pergunakanlah sebaik-baiknya agar kita memiliki investasi besar dalam dakwah ini.


Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.

Kita telah mafhum bahwa kemarin kita telah memaksimalkan tadhiyah untuk jihad siyasi. Dan kitapun telah mengetahui balasan yang diberikan Allah atas upaya maksimal kita. Namun bukan berarti kita telah selesai dalam amal jihadiyah ini. melainkan kita menindak lanjuti prosesi amal ini. Agenda besar yang dapat kita lakukan adalah:


Pertama, Recovery tarbiyah,

Maksudnya adalah mengembalikan iklim tabawi seperti semula yang menanamkan sikap komitmen pada Islam sikap kekokohan maknawi dan militansi nilai-nilai dakwah. Begitu pula tentang apakah perjalanan liqa tarbawinya sebagaimana perjalanan di waktu normal.


Memang kita akui bahwa saat kemarin perjalanan liqa tarbawi ini sedikit mengalami 'gangguan'. Juga kondisi ruhaniyah dan moral para kader dakwah yang selalu menjadi pijakan dasar bagi para kader apakah dalam kondisi prima ataukah sebaliknya. Sehingga aktivitas yang biasa dilakukan melalui mabit-mabit dapat dikerjakan atau jalasah ruhiyah yang selalu diagendakan bagi akhwat dan lainnya. Hal ini tentu berdasarkan pada pandangan bahwa tarbiyahlah yang menjadi pijakan dakwah kita sehingga aktivitas ini harus segera diin'asy (disegarkan) kembali.


Kedua, Taushi'atut Tajnid (Ekspansi Rekrutmen)

Sesudah banyak orang yang berhimpun dalam barisan dakwah ini maka kita harus memberikan hak tarbiyah mereka. Apalagi mereka pun sesungguhnya sangat menanti kehadiran kader dakwah untuk bisa membina diri mereka dan menjadikan mereka sebagai bagian dari mesin besar dakwah ini.

Pada waktu yang lalu rekrutmen kader terbatas pada satu pintu tertentu, yakni kalangan akademisi. Di hari ini segmentasi rekrutmen sudah sangat beragam. Sehingga para junud dakwah ini harus dapat mengantisipasi untuk memperluas wilayah pembinaan di berbagai kalangan. Orang-orang yang telah berhimpun itu secara tidak langsung mengandung tanggung jawab untuk membina mereka menjadi kader yang sesunguhnya.


Ketiga, Ta'amuq Dzaty,

Yaitu memperdalam kualitas dan kemampuan diri. Sudah kita ketahui bahwa semakin banyak amanah yang dipercayakan umat kepada kita maka harus semakin meningkat kualitas dan kemampuan kita untuk dapat menunaikannya. Dan sekarang amanah yang diserahkan kepada kita pun dengan urusan yang beragam. Sehingga kita pun selayaknya memperdalam kemampuan kita untuk dapat menyelesaikan urusan orang banyak yang beragam.


Keempat, Taqwiyatu Billah,

Yaitu memperkokoh hubungan dengan Allah SWT. yang dapat menjadikan diri kita mampu dan kuat tidak lain karena hubungan yang kuat pula pada Allah SWT. sehingga kita tidak boleh mengabaikan amal-amal yang menghantar diri kita ke arah itu. Dan amaliyah ini sedapat mungkin menjadi harian kader yang selalu menghias pada jiwa dan raganya.


Semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan kepada diri kita untuk dapat melaksanakan tugas-tugas yang kita emban hari ini. Amien.


"Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan". (Q.S. At Taubah: 105).

Nasihat Ibu

Seorang pemuda Mesir yang lahir dari keluarga Islam pada umumnya, baru saja menyelesaikan studinya di level SLTA. Disebut "keluarga Islam pada umumnya" sebab di zaman sekarang cukup sulit menemukan sebuah "keluarga Islam pada khusunya". Kedua orang tuanya bermaksud menyekolahkannya ke salah satu perguruan tinggi favorit di luar negeri. Tidak tanggung-tanggung Amerika Serikat (baca USA) menjadi pilihan tujuan kuliahnya.

Ketika melepas sang anak tercinta di bandara Kairo, sang ibu tiba-tiba memperoleh "angin surga" dan berpesan kepada anaknya seraya memegang dada sebelah kirai si anak ;"Nak, jangan lupa ya, ada ALLAH di sini...". Karuan saja, pesan tersebut menghujam begitu dalamnya ke lubuk hati si anak muda ini. Sebab sejak kecil kedua orang tuanya, baik ibu maupun ayah, tidak pernah secara khusus menanamkan nilai-nilai kepadanya. Mereka selalu mengandalkan guru ngaji yang di datangkan ke rumah atau guru agama yang mengajarkan agama di sekolah anak mereka. Maka berangkatlah pemuda mesir ini "berbekal" pesan ibunya tadi.

Orang arab biasa mengajukan pertanyaan "wa maa adraaka maa amerika? "(apa dan bagaimana amerika itu?) Amerika adalah sebuah negara maju ditinjau dari segi keberhasilan duniawi. Namun dari segi moral dan akhlaq ia merupakan salah satu negara yang sedang mengalami kebangkrutan.

Ada kawan saya menceritakan bahwa di salah satu kampus favorit di sana, yakni di Harverd University, pernah ada seorang mahasiswa laki-laki selama satu semester penuh keluar masuk ruang kuliah tanpa mengenakan busana penutup aurat tubuhnya sama sekali. Dan ajaibnya lagi tak seorangpun civitas akademika yang mempermasalahkan kelakuannya berpenampilan bak seekor kera dikebon binantang. sebab Amerika is a free country. Orang bebas mengekspresikan hak asasi manusianya. Nah, ke negeri seperti itulah pemuda Mesir kita melangkahkan kakinya.

Setelah pertama kuliah disana, datang masa liburan ia pun pulang ke Kairo. Begitu berjumpa dengan ibunya, ia segera mengajukan sebuah proposal yang cukup menghebohkan. "Bu, tolong nikahkan saya" kata si pemuda ini. Kontan si ibu menjawab dengan jawaban pada umumnya. "Nak, jangan macam-macam. kamu baru tingkat satu, kuliah saja dulu."Baik bu". Ia pun kembali ke Amerika meneruskan perkuliahannya.

Datang liburan tahun kedua, si pemuda pulang lagi ke Kairo dan mengajukan kembali proposal yang sama:"Bu, tolong nikahkan saya". Lagi-lagi si ibu menjawab,"Nak kamu baru tingkat dua." jangan pikir soal nikah dulu. Yang penting kau selesaikan kuliahmu saja dahulu."Baik,bu," kata si pemuda dengan patuhnya.

Datang liburan tahun ketiga, si pemuda tidak pulang kampung ke Kairo, namun ia tetap mengirim surat yang di dalamnya ia tetap mengajukan proposal yang sama secara konsisten. "Bu, tolong nikahkan saya, Saya sangat ingin menikah". Tetapi, kembali si ibu membalas dengan telegram tidak kalah istiqomahnya mengatakan,"Nak, tanggung tinggal dua tahun lagi kau selesaikan kuliahmu. Nikah masalah mudah. Yang penting kau selesaikan kuliahmu terlebih dahlu".

Datang liburan tahun keempat, tidak pulang kampung maupun mengirim kabar via pos. Maka si ibu mulai berfikir,"Alangkah rajin dan seriusnya anakku belajar di Amerika, sampai-sampai tidak sempat mengirim berita apapun di musim liburnya!".

Kemudian, datanglah akhir masa kuliah di tahun kelima. Tiba-tiba datang sebuah tetelgram ke Kairo dari Amerika yang di dalamnya terdapat berita bahwa si pemuda Mesir telah lulus menjadi sarjana alumni Amerika! Maka segara saja si ibu mengirim telegram menyuruh si anak pulang, agar menghadiri pesta tasyukur..., thala'al badru'alaina...!

Maka dilangsungkan pesta tasyakur yang gegap gempita mengundang segenap tetangga, handai taulan dan karib kerabat. Setalah pesta berakhir dan seluruh tamu pulang meninggalkan pesta, terjadilah dialog dari hati ke hati antar ibu dan anaknya tercinta. "Nak, ibu bangga sekali akan keberhasilanmu menjadi sarjana lulusan Amerika. Engkau telah mengangkat harkat dan martabat keluarga besar kita. Sekarang engkau mau minta apa saja, silahkan. Ibu pasti mengabulkan. Engkau ingin menikah, ibu kabulkan. Engkau ingin menikahi wanita cantik, ibu carikan. Engkau ingin menikah dengan wanita kalangan bangsawan, bisa ibu carikan. Ingin wanita kaya raya? Banyak relasi kalangan orang kaya-raya. Atau ingin mencari wanita dari kalangan santri? Ibu pasti bisa carikan!"

Sejak dari awal pembicaraan, wajah si pemuda tetap tertunduk. Perlahan-lahan, ia mengangkat wajahnya yang lesu dan berkata, "Bu, tidak usah repot-repot mencarikan pasangan hidup untuk anakmu ini. Sebab setelah tinggal di Amerika selama lima tahun, saya sekarang sudah tau bagaimana cara memenuhi kebutuhan biologi tanpa harus menikah. Yang penting, ibu merestui saya pergi kembali ke Amerika, saya ingin tinggal di sana selama-lamanya. "innalillahi wa innaa ilahi rooji'un...!

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari kisah tragis di atas.
Pertama, inilah potret keluarga Islam "pada umumnya" di zaman penuh fitnah ini. Memang, menghadapi zaman yang sarat kemungkaran, kita sangat memerlukan keluarga Islam "pada khususnya" yang mampu membentengi generasi selanjutnya dengan nilai-nilai Ilahi yang tertanam kokoh di dalam jiwa, pikiran dan prilaku. Orang tua di zaman ini tidak boleh hanya mengandalkan penanaman nilai-nilai agama melalui pendidikan formal di sekolah atau menghadirkan guru ngaji ke rumah.

Kedua, kata-kata seorang ibu ternyata memiliki pengaruh yang sangat dalam dan juah bekasnya. dalam kasus pemuda Mesir di atas hanya dengan kalimat "Ingat nak, ada ALLAH di sini" seraya memegang dada kiri si anak, cukup membuat si anak mampu "bertahan" menghadapi derasnya rangsangan kemaksiatan yang menggoda nafsu biologis si pemuda. Setidaknya, selama tiga tahun masa kuliahnya di Amerika. Banyangkan seandainya ibu ini sejak si pemuda masih kecil sudah sering menyampaikan nasihat bermanfaat secar rutin dan berkesinambungan. Singkatnya, kata-kata seorang ibu sangatlah dalam bekas dan penaruhnya.

Ketiga, setiap orang tua hendaknya peka menanggapai setiap permintaan anak. Jangan hendaknya seorang ayah dan ibu memaksakan persepsinya menyikapi keinginan anak. Sebab tidak ada seorangpun yang dapat mengukur batas toleransi kesanggupan orang lain menahan kemauannya. Apalagi jika kemauan tersebut seudah menyangkut kebutuhan primer seseorang, seperti hasrat menikah. Maka benarlah sabda Baginda Rasulullah SAW, "Mudahkanlah pernihakan....."

Keempat, nasihat saja tidak cukup untuk membentingi seseorang. Lebih jauh lagi, setiap kita takala berada di perantauan, apalagi di negeri masyarakat minoritas kaum beriman, mesti memiliki lingkungan yang dapat memelihara keimanan, ibadah dan akhlaq. Benarlah bagina Rasulullah SAW takala bersabda, "Srigala hanya menerkam domba yang lepas dari kelompoknya." Dalam hadits yang lain dikatakan, orang mengikuti agama/keyakinan sahabat karibnya. Maka perhatikanlah siapa yang engkau jadikan sahabat karib".

Kelima, setiap orang tua harus memiliki pemahaman mengenai skala prioritas dalam kehidupan. Jangan lantaran memiliki ambisi melihat anak menjadi alumni sebuah negeri maju di barat, lantas menomor-duakan agama dan kehormatan anaknya. Kisah diatas hanya menunjukkan kepada kita berapa orang tua si pemuda jauh lebih di dominasi oleh paham materialisme daripada nilai-nilai ketuhanan. Wallahua'lam bishshowaab...

PANDANGAN DUA IMAM TERHADAP UKHUWAH DAN JAMAAH

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Hasan Al Banna telah memberikan perhatian yang demikian besar bagi terbentuknya ikatan hati (ta’liful qulub) dan kesatuan jiwa disepanjang kehidupan mereka berdua, baik melalui interaksinya dengan masyarakat di kancah dakwah, maupun dalam tulisan dan pesan-pesannya.

Perbedaan Masalah Fiqih Tidak Boleh Melahirkan Perpecahan

Kedua imam telah menekankan pembicaraan dalam masalah ini, bahwa tidak seyogyanya perbedaan dalam masalah fiqh berakibat adanya perpecahan, permusuhan, dan saling mendengki. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “ Perbedaan dalam masalah fiqh adalah sesuatu yang sulit dideteksi karena banyaknya. Hingga apabila setiap perbedaan yang terjadi pada dua orang muslim menjadikan mereka berselisih, niscaya tidak tersisa lagi ditengah kaum muslimin ‘ishmah (perlindungan) dan ukhuwah.” 1

Pada masa lalu telah terjadi perpecahan hebat dalam tubuh kaum muslimin, karena perbedaan dalam masalah fiqh. Perpecahan tersebut sampai menimbulkan pertikaian dan permusuhan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah jelas mengingkari kenyataan pahit semacam ini, karena tidak senafas dengan jiwa kislaman dan keimanan yang penuh dengan pesan persaudaraan dan ikatan hati. Ia banyak menjelaskan hal ini dalam beberapa tulisannya ketika menguraikan masalah khilaf dan fiqh. Antara lain ia berkata, “ Adapun tentang shalat, maka masalah yang banyak diperselisihkan antara lain seputar basmalah. Mereka mempermaslakan apakah basmalah itu wajib dibaca atau tidak, ia termasuk msalah satu ayat Al Quran atau tidak, hingga perbedaan bagaimana membacanya. Masing-masing pihak menyusun banyak tulisan. Namun demikian, banyak terlihat di sana adanya sikap berlebih-lebihan, bodoh dan zalim padahal masalah sebenarnya adalah sederhana.

Oleh karena itu sikap fanatik dengan pendapat seperti demikian adalah bagian dari bentuk perbedaan dan perpecahan yang kami ingkari. Karena orang yang menyeru pada pendapat tersebut merupakan biang perpecahan. Kalau bukan saja karena syetan yang berusaha menanamkan rasa hasud dan dendam, masalah ini sebenarnya masalah yang paling ringan.” 2

Syaikhul Islam telah menjelaskan bagaimana tingginya kedudukan ta’lif al qulub (ikatan hati) dalam islam. Dan ia begitu sungguh-sungguh memelihara meskipun sebagai konsekwensinya harus meninggalkan amal yang mustahab. Kenapa sampai demikian, karena dalam ikatan hati terdapat maslahat yang lebih agung bagi Islam dan kaum muslimin. Dengannya bangunan Islam menjadi kuat dan kokoh.

Pemeliharaan ikatan hati ini merupakan manhaj Rasul saw dalam dakwahnya, termasuk juga dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Para sahabat ra juga telah memegang teguh prinsip ini sebagai bukti iqtida’ (pengambilan contoh) mereka kepada Rosulullah saw. Ibnu Taimiyah menukilkan pendapat beberapa pendapat ulama seraya berkata, “Seseorang dianjurkan untuk mewujudkan ta’liful qulub meskipun –terkadang- dengan meninggalkan amal mustahabbat. Hal ini karena ta’liful qulub dalam timbangan Islam lebih membawa maslahat daripada mengamalkan mustahabbat. Sebagaimana Nabi saw menunda perbaikan Baitullah, karena dengan membiarkannya akan ada maslahat yang lebih besar. Sebagaimana Ibnu Mas’ud- ia mengingkari shalat itmam (sempurna rakaatnya) dalam safar sebagaimana pendapat Utsman ra- shalat dengan itmam di belakang Utsman ra dan berkata , ‘Khilaf itu jelek’ “.

Imam Syahid Hasan Al Banna berkata dalam rukun Al Fahm, “Khilaf fiqih dalam masalah furu’ seyogyanya tidak menjadi sebab perpecahan dalam agama, tidak menimbulkan adanya perecahan dan saling membenci. Setiap mujtahid mendapatkan pahalanya. Meskipun demikian tidaklah mengapa membahasnya secara ilmiah dan di bawah naungan cinta karena Allah, serta bekerja sama mencapai kebenaran tanpa harus menyeretnya ke jurang ta’ashub.” 3

Imam Syahid menjelaskan bahwa tujuan Ikhwanul Muslimin adalah mewujudkan pribadi muslim, rumah tangga muslim, masyarakat muslim, dan pemerintahan muslim yaitu pemerintah yang akan memimpin negeri-negeri Islam dan menghimpun seluruh komunitas kaum muslimin, menegakan kembali menara keagungan mereka, mengembalikan tanah air, bumi dan negeri mereka yang selama ini terampas kemudian memanggul bendera jihad dan panji dakwah kepada Allah sehingga dunia ini tunduk di bawah naungan Islam.

Setelah menjelaskan tujuan ini ia menjelaskan bekal yang harus dimiliki untuk mewujudkannya seraya berkata, “ Bekal kami adalah orang-orang salaf (pendahulu) kami, dan senjata yang pernah dipakai pemimpin dan teladan kami, Muhammad saw dan para sahabatnya untuk bertempur dengan sedikit bilangan dan minim perlengkapan, namun besar kesungguhan. Itulah senjata yang akan kami pakai dalam rangka memperjuangkan dunia ini dari mula.”4

“ Mereka tahu bahwa tingkatan pertama kekuatan adalah kekuatan akidah dan iman, kemudian persatuan dan ukhuwah, setelah itu kekuatan tangan dan senjata. Sebuah jamaah tidak dapat dikatakan kuat sebelum terpenuhinya tiga kekuatan tersebut. Maka apabila kekuatan tangan dan senjata dipergunakan padahal shaf-nya masih bercerai berai, tatanannya beranbtakan dan iman serta akidahnya lemah niscaya akhir perjalanannya adalah kehancuran dan kebinasaan.”5

Akhirnya, itulah nukilan singkat yang menjelaskan kepada kita titik temu kedua Imam, Ibnu Taimiyah dan Hasan Al Banna, dalam rangka menjaga keutuhan ukhuwah dan jamaah, kesatuan hati dan jiwa. Mereka sepakat dalam hal bahwa:

1) Ukhuwah memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam

2) Ukhuwah merupakan kekuatan yang tidak terkalahkan oleh senjata apapun, apalagi hanya lantaran perbedaan dalam masalah furu’.

3) Kita diutamakan untuk meninggalkan hal-hal mustahabbat yang kiranya dapat menyebabkan lahirnya perpecahan dan membangkitkan kedengkian

footnote:

1) Al Fatawa, XXIV/173

2) Quwaid Nuraniyah Fiqhiyah, hal 42

3) Majmuah Ar Rosail, hal 269

4) Majmuah Ar Rosail (Tahta Rayah Al Islam), hal 100, 101

5) Majmuah Ar Rosail (Muktamar Al Khomis) hal 169

Sumber: Ma'an 'ala Thariqi Ad Da'wah, M. Abdul Halim Hamid

10 PENYAKIT MANUSIA

1. MENYALAHKAN ORANG LAIN

Itu penyakit P dan K, yaitu Primitif dan Kekanak-kanakan. Menyalahkan orang lain adalah pola pikir orang primitif. Di pedalaman Afrika, kalau ada orang yang sakit, yang dipikirkan adalah : Siapa nih yang nyantet ? Selalu "siapa", bukan "apa" penyebabnya. Bidang kedokteran modern selalu mencari tahu "apa" sebabnya, bukan "siapa". Jadi kalau kita berpikir menyalahkan orang lain, itu sama dengan sikap primitif.

Kekanak-kanakan.

Kenapa ? Anak-anak selalu nggak pernah mau disalahkan. Kalau ada piring yang jatuh,"adik tuh yang salah", atau " mbak tuh yang salah". Kalau kita manusia

yang berakal dan dewasa, selalu akan mencari sebab terjadinya sesuatu.

2. MENYALAHKAN DIRI SENDIRI BAHWA DIRINYA MERASA TIDAK MAMPU

Menyalahkan diri sendiri bahwa dirinya merasa tidak mampu. Anda pernah mengalaminya ? Kalau anda bilang tidak pernah, berarti anda bohong. "Ah, dia sih bisa, dia ahli, dia punya jabatan, dia berbakat dsb, Lha saya ini apa ? wah saya nggak bisa deh. Dia S3, lha saya SMP, wah nggak bisa deh. Dia punya waktu banyak, saya sibuk, pasti nggak bisa deh". Penyakit ini seperti kanker, tambah besar, besar di dalam mental diri sehingga bisa mencapai "improper guilty feeling".

Penyakit ini pelan-pelan bisa membunuh kita. Merasa inferior, kita tidak punya kemampuan. Kita sering membandingkan keberhasilan orang lain dengan kekurangan kita, sehingga keberhasilan orang lain dianggap wajar karenamereka punya sesuatu lebih yang kita tidak punya.

3. TIDAK PUNYA GOAL / CITA-CITA

Kita sering terpaku dengan kesibukan kerja, tetapi arahnya tidak jelas. Sebaiknya kita selalu mempunyai target kerja dengan milestone. Buat target jangka panjang dan jangka pendek secara tertulis. Ilustrasinya kayak gini : Ada anjing jago lari yang sombong. Apa sih yang nggak bisa saya kejar, kuda aja kalah sama saya. Kemudian ada kelinci lompat-lompat, kiclik, kiclik, kiclik.

Temannya bilang: "Nah tuh ada kelinci, kejar aja". Dia kejar itu kelinci, wesss...., kelinci lari lebih kencang, anjingnya ngotot ngejar dan kelinci lari sipat-kuping (sampai nggak dengar/peduli apa-apa), dan akhirnya nggak terkejar, kelinci masuk pagar. Anjing kembali lagi ke temannya dan diketawain.

"Ah lu, katanya jago lari, sama kelinci aja nggak bisa kejar. Katanya lu paling kencang". "Lha dia goalnya untuk tetap hidup sih, survive, lha gua goalnya untuk fun aja sih".

Kalau "GOAL" kita hanya untuk "FUN", isi waktu aja, ya hasilnya Cuma terengah-engah saja.

4. MEMPUNYAI "GOAL", TAPI NGAWUR MENCAPAINYA

Biasanya dialami oleh orang yang tidak "teachable". Goalnya salah, focus kita juga salah, jalannya juga salah, arahnya juga salah. Ilustrasinya kayak gini : ada pemuda yang terobsesi dengan emas, karena pengaruh tradisi yang mendewakan emas. Pemuda ini pergi ke pertokoan dan mengisi karungnya dengan emas dan seenaknya ngeloyor pergi. Tentu saja ditangkap polisi dan ditanya. Jawabnya : Pokoknya saya mau emas, saya nggak mau lihat kiri-kanan.

5. MENGAMBIL JALAN PINTAS, SHORT CUT

Keberhasilan tidak pernah dilalui dengan jalan pintas. Jalan pintas tidak membawa orang ke kesuksesan yang sebenarnya, real success, karena tidak mengikuti proses. Kalau kita menghindari proses, ya nggak matang kalaupun matang ya dikarbit. Jadi, tidak ada tuh jalan pintas. Pemain bulutangkis Indonesia bangun jam 5 pagi, lari keliling Senayan, melakukan smesh 1000 kali. Itu bukan jalan pintas. Nggak ada orang yang leha-leha tiap hari pakai sarung, terus tiba- tiba jadi juara bulu tangkis. Nggak ada ! Kalau anda disuruh taruh uang 1 juta, dalam 3 minggu jadi 3 juta, masuk akal nggak tuh ? Nggak mungkin ! Karena hal itu melawan kodrat.

6. MENGAMBIL JALAN TERLALU PANJANG, TERLALU SANTAI

Analoginya begini : Pesawat terbang untuk bisa take-off, harus mempunyai kecepatan minimum. Pesawat Boeing 737, untuk dapat take- off, memerlukan kecepatan minimum 300 km/jam. Kalau kecepatan dia cuma 50 km/jam, ya Cuma ngabis-ngabisin avtur aja, muter-muter aja. Lha kalau jalannya, runwaynya lurus anda cuma pakai kecepatan 50 km/jam, ya nggak bisa take-off, malah nyungsep. Iya kan ?

7. MENGABAIKAN HAL-HAL YANG KECIL

Dia maunya yang besar-besar, yang heboh, tapi yang kecil-kecil nggak dikerjain. Dia lupa bahwa struktur bangunan yang besar, pasti ada komponen yang kecilnya. Maunya yang hebat aja. Mengabaikan hal kecil aja nggak boleh, apalagi mengabaikan orang kecil.

8. TERLALU CEPAT MENYERAH

Jangan berhenti kerja pada masa percobaan 3 bulan. Bukan mengawali dengan yang salah yang bikin orang gagal, tetapi berhenti pada tempat yang salah. Mengawali dengan salah bisa diperbaiki, tetapi berhenti di tempat yang salah repot sekali.

9. BAYANG BAYANG MASA LALU

Wah puitis sekali, saya suka sekali dengan yang ini. Karena apa ? Kita selalu penuh memori kan ? Apa yang kita lakukan, masuk memori kita, minimal sebagai pertimbangan kita untuk langkah kita berikutnya. Apalagi kalau kita pernah gagal, nggak berani untuk mencoba lagi. Ini bisa balik lagi ke penyakit nomer-3. Kegagalan sebagai akibat bayang-bayang masa lalu yang tidak terselesaikan dengan semestinya. Itu bayang-bayang negatif. Memori kita kadang-kadang sangat membatasi kita untuk maju ke depan. Kita kadang-kadang lupa bahwa hidup itu maju terus. "Waktu" itu maju kan ?. Ada nggak yang punya jam yang jalannya terbalik ?? Nggak ada kan ? Semuanya maju, hidup itu maju. Lari aja ke depan, kalaupun harus jatuh, pasti ke depan kok. Orang yang berhasil, pasti pernah gagal. Itu memori negatif yang menghalangi kesuksesan.

10. MENGHIPNOTIS DIRI DENGAN KESUKSESAN SEMU

Biasa disebut Pseudo Success Syndrome. Kita dihipnotis dengan itu. Kita kalau pernah berhasil dengan sukses kecil, terus berhenti, nggak kemana-mana lagi. Sudah puas dengan sukses kecil tersebut. Napoleon pernah menyatakan: "Saat yang paling berbahaya datang bersama dengan kemenangan yang besar". Itu saat yang paling berbahaya, karena orang lengah, mabuk kemenangan. Jangan terjebak dengan goal-goal hasil yang kecil, karena kita akan menembak sasaran yang besar, goal yang jauh. Jangan berpuas diri, ntar jadi sombong, terus takabur.

APA YANG KITA SOMBONGKAN ?

Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, yang benih-

benihnya terlalu kerap muncul tanpa kita sadari. Di tingkat terbawah,

sombong disebabkan oleh faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebih

rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.

Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan. Kita

merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan

orang lain.

Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh faktor kebaikan. Kita sering

menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus

dibandingkan dengan orang lain.

Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula

kita mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun

sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit

terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam

batin kita.

Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan. Pada tataran yang

lumrah, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem)

dan kepercayaan diri (self-confidence). Akan tetapi, begitu kedua hal

ini berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekat

dengan kesombongan. Batas antara bangga dan sombong tidaklah terlalu

jelas.

Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan

kesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia, kita dalam

keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan

waktu, kita mulai memupuk berbagai keinginan, lebih dari sekadar yang

kita butuhkan dalam hidup. Keenam indra kita selalu mengatakan bahwa

kita memerlukan lebih banyak lagi.

Perjalanan hidup cenderung menggiring kita menuju kutub ego. Ilusi ego

inilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme ketamakan (ekstrem

suka) dan kebencian (ekstrem tidak suka). Inilah akar dari segala

permasalahan.

Perjuangan melawan kesombongan merupakan perjuangan menuju kesadaran

sejati. Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya, ada dua

perubahan paradigma yang perlu kita lakukan. Pertama, kita perlu

menyadari bahwa pada hakikatnya kita bukanlah makhluk fisik, tetapi

makhluk spiritual. Kesejatian kita adalah spiritualitas, sementara

tubuh fisik hanyalah sarana untuk hidup di dunia. Kita lahir dengan

tangan kosong, dan (ingat!) kita pun akan mati dengan tangan kosong.

Pandangan seperti ini akan membuat kita melihat semua makhluk dalam

kesetaraan universal. Kita tidak akan lagi terkelabui oleh penampilan,

label, dan segala "tampak luar" lainnya. Yang kini kita lihat

adalah "tampak dalam". Pandangan seperti ini akan membantu menjauhkan

kita dari berbagai kesombongan atau ilusi ego.

Kedua, kita perlu menyadari bahwa apa pun perbuatan baik yang kita

lakukan, semuanya itu semata-mata adalah juga demi diri kita sendiri.

Kita memberikan sesuatu kepada orang lain adalah juga demi kita sendiri.

Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi. Energi yang kita

berikan kepada dunia tak akan pernah musnah. Energi itu akan kembali

kepada kita dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang kita lakukan pasti

akan kembali kepada kita dalam bentuk persahabatan, cinta kasih, makna

hidup, maupun kepuasan batin yang mendalam. Jadi, setiap berbuat baik

kepada pihak lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik kepada diri kita

sendiri. Kalau begitu, apa yang kita sombongkan dan ngapain juga ?