Sabtu, 02 Mei 2009

Sebuah impian

Matahari mulai memancarkan sinarnya, kicauan burung-burung yang melompat dari ranting-keranting menjadikan suasana pagi menjadi lebih indah. Pagi itu Pak Warjo siap-siap berangkat ke sawah. Dia harus kerja keras untuk mencapai sebuah keinginannya. Sebuah TV yang sudah di idamkannya sejak lama. Setiap harinya Pak Warjo kalau nonton TV hanya numpang tetangga. Maklumlah, hanya Pak Warjo keluarga yang tergolong miskin di kampungnya. Kebanyakan dari tetanganya orang yang mampu, jadi banyak yang sudah mempunyai TV. Pak Warjo ingin berusaha membahagiakan istri dan anak-anaknya. Dia juga tidak mau di katakan orang yang ketinggalan zaman. Walaupun dia tidak punya apa-apa dan hanya hidup pas-pasan. “Kalau sudah punya TV nanti Aku dan anak-anak tidak perlu ke rumah tetangga lagi setiap menjelang magrib.” pikirnya.
Kini Pak Warjo hanya mempunyai sawah setengah hektare warisan dari orang tuannya. Dulu sebelum untuk biaya berobat Selamet, anaknya yang paling kecil ke rumah sakit, Pak Warjo masih mempunyai dua ekor kambing yang akan di gunakan untuk membeli TV. Tapi, kini hanya sawahlah harta yang berharga satu-satunya harapan untuk mencapai sebuah keinginannya itu dan sekaligus untuk menopang kebutuhan hidupnya.
Pada masa panen tahun kemarin padinya yang di perkirakan panen dua ton, habis di terjang banjir. Dari kejadian itu Pak Warjo tidak sempat makan nasi dalam dua hari. Karena setok beras yang di simpannya habis, apalagi untuk membeli satu kilo beras saja Pak Warjo tidak mempunyai uang. Hanya ubi dari kebun belakang yang biasa di makan pada saat itu. Sungguh itu pengalaman yang sangat menyedihkan dalam hidupnya. Tapi atas kebaikan Yu Marinah meminjami uang, akhirnya Pak Warjo bisa nempur.
Pagi itu Pak Warjo rajin sekali menggarap sawahnya. Dia juga tidak pernah lupa memupuk dan mengobati tanamannya itu agar selalu subur dan terhindar dari panyakit, walaupun pupuk sekarang bagi petani menjadi barang yang langka dan sulit untuk di cari. Dan apapun resikonya dia lakukan, sengatan panas mataharipun tidak di hiraukannya, dalam benaknya yang penting di bisa beli TV dan bisa membahagiakan keluarganya.
Setelah hampir setengah hari dia bekerja, Pak Warjo segera istirahat di gubuk yang berada di pinggir sawahnya. Di lepaskan caping yang di pakainya lalu di kipas-kipaskannya capingnya itu sambil menikmati ubi rebus bekalnya dari rumah. Dia terbayang ketika anak-anaknya merengek-rengek memintanya untuk membelikan TV. Entah apa yang ada di pikiran Pak Warjo kali ini, yang jelas dia harus kerja keras untuk mencapai ke inginannya itu. Pak Warjo tampak senang melihat hamparan padinya yang tumbuh subur. Dia tidak henti-hentinya bersyukur.
Malam harinya usai sholat magrib, Pak Warjo duduk di ruang tamu sambil menikmati secangkir teh hangat dan beberapa potong ubi rebus. Setiap malam Maryatun istrinya, tidak lupa membuatkan teh hangat, sekedar untuk menghangatkan badan suaminya. Maryatun adalah istri yang setia, berpuluh-puluh tahun mendampingi hidup Pak Warjo dengan hudup serba pas-pasan dan apa adanya. Untuk membantu beban suaminya, Maryatun bekerja menjadi tukang buruh cuci. Setiap kali cucian Maryatun mendapatkan upah Rp. 20.000. Dulu Maryatun ingin menjadi TKW, tetapi Pak Warjo melarangnya. Pak Warjo kawatir kalau sampai terjadi apa-apa dengan istrinya. Karena dalam berita sering muncul berita penganiayaan dan pembunuhan seorang TKW.
“Bagaimana Pak, padi kita di sawah?” Tanya Maryatun sambil menata baju anaknya di lemari.
“Alhamdulillah Bu, padi kita tumbuh subur.” Jawab Pak Warjo sambil menyeruput teh hangatnya.”
“Semoga aja panen kali ini membawakan hasil ya Pak, jadi kita bisa beli TV dan anak-anak tidak menagihnya terus, sekalian kita bisa nyarutang, Pak.”
Hutang kali ini sudah menumpuk, kemarin sudah ada tukang kredit yang menagih hutang. Karena Maryatun masih mempunyai tunggakan hutang yang belum di lunasi. Apalagi kemarin Bejo, anaknya yang paling besar minta uang untuk bayar SPP. Sudah tiga bulan ini iuran SPP belum juga di lunasi. Tapi Pak Warjo menjanjikan akan melunasi sehabis panen padi.
Tiga bulan lebih telah berlalu. Padi Pak warjo sudah menguning. Dan waktunya untuk panen.
Pagi yang cerah. Pak Warjo dan istrinya sudah berada di sawah untuk memimpin menuai padi. Tak lupa Kang Darmo, Mbah Wongso dan Yu Marinah tetangganya siap membantu menuai padi. Bejo, juga ikut membantu sehabis pulang sekolah. Sementara Maryatun menyediakan makanan kecil dan minuman bagi mereka yang bekerja.
Usai panen Pak Warjo nampak senang dan bersyukur bisa menyelesaikan panennya. Dan apa yang dia idamkan juga akan segera terkabul. Tidak sia-sia pengorbanan Pak Warjo kali ini. Hasil panen mencapai dua ton lebih. Kini gabah yang masih basah di simpan dan besoknya mulai di jemur. Apabila cuaca tetap baik dalam tiga-empat hari, gabah akan segera kering. Tidak semua hasil panen di jual tapi sebagian untuk persediaan makan hingga musim panen mendatang.
“Akhirnya kita bisa panen kali ini, Pak.” Ujar Maryatun pada suatu malam.
“Alhamdulillah Bu, besok beras juga sudah siap kita jual, mumpung harga belum anjlok.”
Ketika mulai larut malam, ketika keluarga Pak Warjo sedang tertidur nyenyak. Suasana malam berubah sangat gerah, terasa akan turun hujan. Petir mulai terdengar mengelegar, tidak lama kemudian hujan turun. Semakin lama hujan semakin deras, kali ini di sertai dengan angin kencang. Akibat tanggul bocor, air sungai mulai meluap dan merambah ke rumah-rumah. Mengetaui hal itu, semua warga segera menyelamatkan diri, banyak rumah warga yang rusak dan pepohonan yang tumbang akibat terkena banjir, termasuk juga rumah Pak Warjo. Pak Warjo sendiri tidak sadar kalau sedang terjadi bencana yang sangat dasyat. Dia bersama istri dan anak-anaknya benar-benar terlelap dalam mimpi. Dalam mimpinya mereka sedang asyik menonton TV, dan akhirnya mereka tenggelam dan hilang terbawa arus.





Klaten, 2008