Senin, 05 Oktober 2009

KABAR TAK TERDUGA

Pagi ini Slamet hanya duduk di depan dipan yang berada di depan rumahnya, sambil menikmati semilirnya udara pagi yang sejuk. Tapi, Slamet kelihatan seperti orang yang nelangsa. Dia meratapi nasib yang sedang menimpanya. Sekian banyak dari pemuda di kampungnya, hanya dia yang masih menganggur. Slamet merasa malu kepada teman dan tetangganya ketika di rumah hanya duduk-duduk saja.

Oalah le, timbang nganggur mending cari kerja sana.” Kata-kata bapaknya membuyarkan lamunannya ketika Slamet sedang asyik melamun.

“Aku juga pengen kerja, tapi bagimana lagi pak, sekarang cari kerja susah.” Jawabnya dengan wajah memelas.

“Memang cari sesuap nasi itu susah, butuh pengorbanan, jangan anggap enteng. Apa lagi kalau kamu besok sudah punya istri, tambah berat Le. Pokoknya kamu sekarang harus mulai mandiri, cari kerja.” Kata ibunya menambahkan.

Memang benar apa yang di katakan oleh ibunya itu. Sebagai laki-laki memang mempunyai tanggung jawab yang berat. Mencari nafkah untuk istri dan anaknya. Tapi bagaimanapun usaha itu juga harus kita lakukan untuk bisa menafkahi keluarga. Ibarat pepatah jawa ora obah ora mamah.

Slamet menenangkan pikirannya sejenak, lalu mulai berfikir dengan otak kecilnya. Slamet tetap berusaha bagaimanapun dia harus mendapat pekerjaan. Walaupun Slamet hanyalah anak dari seorang tukang becak yang kesehariannya hanya mendapatkan penghasilan 15.000. Tapi dengan penghasilan segitu yang penting keluarganya bisa makan. Dan Slamet juga tidak mau kalau terus-terusan masih menggantungkan sama orang tua. Dia merasa sudah dewasa dan sudah bisa mencari makan sendiri.

Slamet beranjak bangun dari tempat duduknya, dilangkahkan kakinya menuju sebuah lemari yang berada di samping kamarnya. Disana masih ada beberapa lembar koran yang dia simpan yang di belinya di pasar legi kemarin. Slamet membuka setiap halaman. Di cari halaman yang ada lowongan pekerjaan.

”Semoga ini bisa membantuku untuk mendapatkan pekerjaan.” Harapnya dalam hati.

Slamet terus mencari satu persatu pekerjaan yang pas buatnya. Ternyata kebanyakan pekerjaan yang di butuhkan adalah lulusan sarjana dan minimal lulusan SMA. Tapi bagi Slamet, dia hanya lulusan SMP apalagi dia tidak punya keahlian dalam bidang apapun. Baginya orang sepertinya sulit mencari lowongan di koran. Tapi semua itu tidak menjadikan hatinya surut, Slamet masih terus berfikir dan terus berusaha. Bagaimanapun dia harus dapat kerja.

Malam itu setelah Slamet selesai menjalankan shalat magrib. Tiba-tiba pintu rumahnya di ketuk oleh seseorang. segera ia menuju pintu, ditariknya gagang pintu dengan pelan.

“Lho, kok kamu kang Mar, kapan pulang dari jakarta?” Ujar Slamet setelah membuka pintu.

“Iya, kemarin Aku pulang.”

Di teruskan pembicaraan itu di ruang tamu. Slamet tidak percaya kalau yang datang itu Marno. Temennya sejak mereka masih duduk di bangku SD.

“Wah, ada kabar apa kang, kayaknya penting. Apa kamu sudah mau nikah?” Tanya Slamet sedikit bercanda.

“Ah…kau ini dek, kalau masalah itu aku belum ada rencana. Masih jauh.” Jawabnya sambil senyum.

“Gini dek Slamet, kedatanganku kesini mau mengajak dek Slamet kerja. Kebetulan di tempat kerjaku masih kekurangan tenaga. Kebetulan di kampung kita ini pemuda yang masih nganggur kayaknya hanya kamu. Jadi Aku mau ajak kamu kerja.”

“Weh, ladalah. Syurkurrrr. Kebetulan Aku juga mau cari kerja. Kapan kang kita berangkat?” Jawabnya senang.

“Besok kita sudah bisa mulai berangkat. Soalnya bosku sudah menyuruh untuk segera balik. Ada beberapa proyek yang harus segera di selsaikan.

Hati Slamet mulai senang, ketika mendengarkan berita semua itu. Slamet tak hentinya bersyukur akhirnya dia bisa mendapatkan pekerjaan. Walaupun pekerjaan itu di proyek dan apapun pekerjaannya itu semua adalah berkah yang tak terduga yang telah di berikan tuhan yang patut untuk di syukuri.

Siang hari, ketika matahari sudah berada di atas. Slamet sudah bersiap berangkat ke Jakarta. Sebenarnya orang tuanya tidak mengizinkan Slamet kerja merantau ke Jakarta. Orang tuanya khawatir kalau sampai terjadi dengan anak semata wayangnya itu. Apalagi bapaknya sekarang sering sakit-sakitan. Dia memaksa dirinya bekerja hingga larut malam demi sesuap nasi. Lelah dan lapar pun tidak di hiraukannya. Yang penting dalam benaknya keluarganya bisa makan.

Tapi dengan berat hati akhirnya orang tuanya mengizinkannya juga. Di peluk erat kedua orang tuanya. Matanya Slamet mulai berkaca-kaca ketika ia melepaskan pelukannya. Rasanya Slamet tidak tega meninggalkan kedua orang tuanya. Tapi harus bagaimana lagi, ini adalah resiko supaya Slamet mendapatkan uang.

Satu tahun lebih Slamet bekerja di Jakarta. Akhirnya Slamet mendapatkan uang juga atas semua jerit payahnya. Sudah lama Slamet tidak mendengar kabar tentang kedua orang tuannya di kampung. Dan rasa rindu telah terasa di hatinya. Besok Slamet berniat untuk pulang untuk melepas rindu bersama kedua orang tuanya. Sebelum dia pulang Slamet berniat membeli oleh-oleh dan baju untuk kedua orang tuannya.

Esok harinya, ketika Slamet bersiap untuk pulang. Slamet di kagetkan oleh kedatangan Mardi. Dengan membawa sebuah surat yang di bungkus rapi dengan amplop.

“Surat apa itu kang?” Tanya Slamet ketika memasukan bajunya ke dalam tas.

Marno hanya diam, dan kemudian duduk di samping Slamet. Sambil memberikan surat itu yang ia dapat dari tukang pos.

Sebetulnya Marno tidak tega memberikan surat itu kepada Slamet. Bagaimanapun, itu adalah surat untuk Slamet yang harus di sampaikan.

Belum selesai membaca seluruh isi surat Slamet langsung menangis menjerit. Dia tak kuasa menahan tangisnya. Dia tidak percaya dengan semua isi surat itu. Ternyata surat itu kabar bahwa bapaknya di kampung meninggal dunia. Bapaknya meninggal dunia akibat kecelakaan ketika menarik becak di perempatan jalan. Di mana tempat bapaknya mangkal. Pada saat itu ketika bapaknya sedang menyebrang jalan ingin menghapiri seorang nenek yang ingin menyewa becaknya. Tiba-tiba di sudut jalan ada sebuah mobil sedang melaju kencang. Tanpa di sadari akhirnya mobil tersebut menabrak becaknya hingga remuk. Dan bapaknya telempar ke tepi jalan. Akhirnya, sebelum di bawa ke rumah sakit nyawa tak bisa di selamatkan.

Klaten, 2009

Tidak ada komentar: