Kamis, 01 Oktober 2009

Nasihat Ibu

Seorang pemuda Mesir yang lahir dari keluarga Islam pada umumnya, baru saja menyelesaikan studinya di level SLTA. Disebut "keluarga Islam pada umumnya" sebab di zaman sekarang cukup sulit menemukan sebuah "keluarga Islam pada khusunya". Kedua orang tuanya bermaksud menyekolahkannya ke salah satu perguruan tinggi favorit di luar negeri. Tidak tanggung-tanggung Amerika Serikat (baca USA) menjadi pilihan tujuan kuliahnya.

Ketika melepas sang anak tercinta di bandara Kairo, sang ibu tiba-tiba memperoleh "angin surga" dan berpesan kepada anaknya seraya memegang dada sebelah kirai si anak ;"Nak, jangan lupa ya, ada ALLAH di sini...". Karuan saja, pesan tersebut menghujam begitu dalamnya ke lubuk hati si anak muda ini. Sebab sejak kecil kedua orang tuanya, baik ibu maupun ayah, tidak pernah secara khusus menanamkan nilai-nilai kepadanya. Mereka selalu mengandalkan guru ngaji yang di datangkan ke rumah atau guru agama yang mengajarkan agama di sekolah anak mereka. Maka berangkatlah pemuda mesir ini "berbekal" pesan ibunya tadi.

Orang arab biasa mengajukan pertanyaan "wa maa adraaka maa amerika? "(apa dan bagaimana amerika itu?) Amerika adalah sebuah negara maju ditinjau dari segi keberhasilan duniawi. Namun dari segi moral dan akhlaq ia merupakan salah satu negara yang sedang mengalami kebangkrutan.

Ada kawan saya menceritakan bahwa di salah satu kampus favorit di sana, yakni di Harverd University, pernah ada seorang mahasiswa laki-laki selama satu semester penuh keluar masuk ruang kuliah tanpa mengenakan busana penutup aurat tubuhnya sama sekali. Dan ajaibnya lagi tak seorangpun civitas akademika yang mempermasalahkan kelakuannya berpenampilan bak seekor kera dikebon binantang. sebab Amerika is a free country. Orang bebas mengekspresikan hak asasi manusianya. Nah, ke negeri seperti itulah pemuda Mesir kita melangkahkan kakinya.

Setelah pertama kuliah disana, datang masa liburan ia pun pulang ke Kairo. Begitu berjumpa dengan ibunya, ia segera mengajukan sebuah proposal yang cukup menghebohkan. "Bu, tolong nikahkan saya" kata si pemuda ini. Kontan si ibu menjawab dengan jawaban pada umumnya. "Nak, jangan macam-macam. kamu baru tingkat satu, kuliah saja dulu."Baik bu". Ia pun kembali ke Amerika meneruskan perkuliahannya.

Datang liburan tahun kedua, si pemuda pulang lagi ke Kairo dan mengajukan kembali proposal yang sama:"Bu, tolong nikahkan saya". Lagi-lagi si ibu menjawab,"Nak kamu baru tingkat dua." jangan pikir soal nikah dulu. Yang penting kau selesaikan kuliahmu saja dahulu."Baik,bu," kata si pemuda dengan patuhnya.

Datang liburan tahun ketiga, si pemuda tidak pulang kampung ke Kairo, namun ia tetap mengirim surat yang di dalamnya ia tetap mengajukan proposal yang sama secara konsisten. "Bu, tolong nikahkan saya, Saya sangat ingin menikah". Tetapi, kembali si ibu membalas dengan telegram tidak kalah istiqomahnya mengatakan,"Nak, tanggung tinggal dua tahun lagi kau selesaikan kuliahmu. Nikah masalah mudah. Yang penting kau selesaikan kuliahmu terlebih dahlu".

Datang liburan tahun keempat, tidak pulang kampung maupun mengirim kabar via pos. Maka si ibu mulai berfikir,"Alangkah rajin dan seriusnya anakku belajar di Amerika, sampai-sampai tidak sempat mengirim berita apapun di musim liburnya!".

Kemudian, datanglah akhir masa kuliah di tahun kelima. Tiba-tiba datang sebuah tetelgram ke Kairo dari Amerika yang di dalamnya terdapat berita bahwa si pemuda Mesir telah lulus menjadi sarjana alumni Amerika! Maka segara saja si ibu mengirim telegram menyuruh si anak pulang, agar menghadiri pesta tasyukur..., thala'al badru'alaina...!

Maka dilangsungkan pesta tasyakur yang gegap gempita mengundang segenap tetangga, handai taulan dan karib kerabat. Setalah pesta berakhir dan seluruh tamu pulang meninggalkan pesta, terjadilah dialog dari hati ke hati antar ibu dan anaknya tercinta. "Nak, ibu bangga sekali akan keberhasilanmu menjadi sarjana lulusan Amerika. Engkau telah mengangkat harkat dan martabat keluarga besar kita. Sekarang engkau mau minta apa saja, silahkan. Ibu pasti mengabulkan. Engkau ingin menikah, ibu kabulkan. Engkau ingin menikahi wanita cantik, ibu carikan. Engkau ingin menikah dengan wanita kalangan bangsawan, bisa ibu carikan. Ingin wanita kaya raya? Banyak relasi kalangan orang kaya-raya. Atau ingin mencari wanita dari kalangan santri? Ibu pasti bisa carikan!"

Sejak dari awal pembicaraan, wajah si pemuda tetap tertunduk. Perlahan-lahan, ia mengangkat wajahnya yang lesu dan berkata, "Bu, tidak usah repot-repot mencarikan pasangan hidup untuk anakmu ini. Sebab setelah tinggal di Amerika selama lima tahun, saya sekarang sudah tau bagaimana cara memenuhi kebutuhan biologi tanpa harus menikah. Yang penting, ibu merestui saya pergi kembali ke Amerika, saya ingin tinggal di sana selama-lamanya. "innalillahi wa innaa ilahi rooji'un...!

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari kisah tragis di atas.
Pertama, inilah potret keluarga Islam "pada umumnya" di zaman penuh fitnah ini. Memang, menghadapi zaman yang sarat kemungkaran, kita sangat memerlukan keluarga Islam "pada khususnya" yang mampu membentengi generasi selanjutnya dengan nilai-nilai Ilahi yang tertanam kokoh di dalam jiwa, pikiran dan prilaku. Orang tua di zaman ini tidak boleh hanya mengandalkan penanaman nilai-nilai agama melalui pendidikan formal di sekolah atau menghadirkan guru ngaji ke rumah.

Kedua, kata-kata seorang ibu ternyata memiliki pengaruh yang sangat dalam dan juah bekasnya. dalam kasus pemuda Mesir di atas hanya dengan kalimat "Ingat nak, ada ALLAH di sini" seraya memegang dada kiri si anak, cukup membuat si anak mampu "bertahan" menghadapi derasnya rangsangan kemaksiatan yang menggoda nafsu biologis si pemuda. Setidaknya, selama tiga tahun masa kuliahnya di Amerika. Banyangkan seandainya ibu ini sejak si pemuda masih kecil sudah sering menyampaikan nasihat bermanfaat secar rutin dan berkesinambungan. Singkatnya, kata-kata seorang ibu sangatlah dalam bekas dan penaruhnya.

Ketiga, setiap orang tua hendaknya peka menanggapai setiap permintaan anak. Jangan hendaknya seorang ayah dan ibu memaksakan persepsinya menyikapi keinginan anak. Sebab tidak ada seorangpun yang dapat mengukur batas toleransi kesanggupan orang lain menahan kemauannya. Apalagi jika kemauan tersebut seudah menyangkut kebutuhan primer seseorang, seperti hasrat menikah. Maka benarlah sabda Baginda Rasulullah SAW, "Mudahkanlah pernihakan....."

Keempat, nasihat saja tidak cukup untuk membentingi seseorang. Lebih jauh lagi, setiap kita takala berada di perantauan, apalagi di negeri masyarakat minoritas kaum beriman, mesti memiliki lingkungan yang dapat memelihara keimanan, ibadah dan akhlaq. Benarlah bagina Rasulullah SAW takala bersabda, "Srigala hanya menerkam domba yang lepas dari kelompoknya." Dalam hadits yang lain dikatakan, orang mengikuti agama/keyakinan sahabat karibnya. Maka perhatikanlah siapa yang engkau jadikan sahabat karib".

Kelima, setiap orang tua harus memiliki pemahaman mengenai skala prioritas dalam kehidupan. Jangan lantaran memiliki ambisi melihat anak menjadi alumni sebuah negeri maju di barat, lantas menomor-duakan agama dan kehormatan anaknya. Kisah diatas hanya menunjukkan kepada kita berapa orang tua si pemuda jauh lebih di dominasi oleh paham materialisme daripada nilai-nilai ketuhanan. Wallahua'lam bishshowaab...

Tidak ada komentar: