Kamis, 01 Oktober 2009

PANDANGAN DUA IMAM TERHADAP UKHUWAH DAN JAMAAH

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Hasan Al Banna telah memberikan perhatian yang demikian besar bagi terbentuknya ikatan hati (ta’liful qulub) dan kesatuan jiwa disepanjang kehidupan mereka berdua, baik melalui interaksinya dengan masyarakat di kancah dakwah, maupun dalam tulisan dan pesan-pesannya.

Perbedaan Masalah Fiqih Tidak Boleh Melahirkan Perpecahan

Kedua imam telah menekankan pembicaraan dalam masalah ini, bahwa tidak seyogyanya perbedaan dalam masalah fiqh berakibat adanya perpecahan, permusuhan, dan saling mendengki. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “ Perbedaan dalam masalah fiqh adalah sesuatu yang sulit dideteksi karena banyaknya. Hingga apabila setiap perbedaan yang terjadi pada dua orang muslim menjadikan mereka berselisih, niscaya tidak tersisa lagi ditengah kaum muslimin ‘ishmah (perlindungan) dan ukhuwah.” 1

Pada masa lalu telah terjadi perpecahan hebat dalam tubuh kaum muslimin, karena perbedaan dalam masalah fiqh. Perpecahan tersebut sampai menimbulkan pertikaian dan permusuhan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah jelas mengingkari kenyataan pahit semacam ini, karena tidak senafas dengan jiwa kislaman dan keimanan yang penuh dengan pesan persaudaraan dan ikatan hati. Ia banyak menjelaskan hal ini dalam beberapa tulisannya ketika menguraikan masalah khilaf dan fiqh. Antara lain ia berkata, “ Adapun tentang shalat, maka masalah yang banyak diperselisihkan antara lain seputar basmalah. Mereka mempermaslakan apakah basmalah itu wajib dibaca atau tidak, ia termasuk msalah satu ayat Al Quran atau tidak, hingga perbedaan bagaimana membacanya. Masing-masing pihak menyusun banyak tulisan. Namun demikian, banyak terlihat di sana adanya sikap berlebih-lebihan, bodoh dan zalim padahal masalah sebenarnya adalah sederhana.

Oleh karena itu sikap fanatik dengan pendapat seperti demikian adalah bagian dari bentuk perbedaan dan perpecahan yang kami ingkari. Karena orang yang menyeru pada pendapat tersebut merupakan biang perpecahan. Kalau bukan saja karena syetan yang berusaha menanamkan rasa hasud dan dendam, masalah ini sebenarnya masalah yang paling ringan.” 2

Syaikhul Islam telah menjelaskan bagaimana tingginya kedudukan ta’lif al qulub (ikatan hati) dalam islam. Dan ia begitu sungguh-sungguh memelihara meskipun sebagai konsekwensinya harus meninggalkan amal yang mustahab. Kenapa sampai demikian, karena dalam ikatan hati terdapat maslahat yang lebih agung bagi Islam dan kaum muslimin. Dengannya bangunan Islam menjadi kuat dan kokoh.

Pemeliharaan ikatan hati ini merupakan manhaj Rasul saw dalam dakwahnya, termasuk juga dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Para sahabat ra juga telah memegang teguh prinsip ini sebagai bukti iqtida’ (pengambilan contoh) mereka kepada Rosulullah saw. Ibnu Taimiyah menukilkan pendapat beberapa pendapat ulama seraya berkata, “Seseorang dianjurkan untuk mewujudkan ta’liful qulub meskipun –terkadang- dengan meninggalkan amal mustahabbat. Hal ini karena ta’liful qulub dalam timbangan Islam lebih membawa maslahat daripada mengamalkan mustahabbat. Sebagaimana Nabi saw menunda perbaikan Baitullah, karena dengan membiarkannya akan ada maslahat yang lebih besar. Sebagaimana Ibnu Mas’ud- ia mengingkari shalat itmam (sempurna rakaatnya) dalam safar sebagaimana pendapat Utsman ra- shalat dengan itmam di belakang Utsman ra dan berkata , ‘Khilaf itu jelek’ “.

Imam Syahid Hasan Al Banna berkata dalam rukun Al Fahm, “Khilaf fiqih dalam masalah furu’ seyogyanya tidak menjadi sebab perpecahan dalam agama, tidak menimbulkan adanya perecahan dan saling membenci. Setiap mujtahid mendapatkan pahalanya. Meskipun demikian tidaklah mengapa membahasnya secara ilmiah dan di bawah naungan cinta karena Allah, serta bekerja sama mencapai kebenaran tanpa harus menyeretnya ke jurang ta’ashub.” 3

Imam Syahid menjelaskan bahwa tujuan Ikhwanul Muslimin adalah mewujudkan pribadi muslim, rumah tangga muslim, masyarakat muslim, dan pemerintahan muslim yaitu pemerintah yang akan memimpin negeri-negeri Islam dan menghimpun seluruh komunitas kaum muslimin, menegakan kembali menara keagungan mereka, mengembalikan tanah air, bumi dan negeri mereka yang selama ini terampas kemudian memanggul bendera jihad dan panji dakwah kepada Allah sehingga dunia ini tunduk di bawah naungan Islam.

Setelah menjelaskan tujuan ini ia menjelaskan bekal yang harus dimiliki untuk mewujudkannya seraya berkata, “ Bekal kami adalah orang-orang salaf (pendahulu) kami, dan senjata yang pernah dipakai pemimpin dan teladan kami, Muhammad saw dan para sahabatnya untuk bertempur dengan sedikit bilangan dan minim perlengkapan, namun besar kesungguhan. Itulah senjata yang akan kami pakai dalam rangka memperjuangkan dunia ini dari mula.”4

“ Mereka tahu bahwa tingkatan pertama kekuatan adalah kekuatan akidah dan iman, kemudian persatuan dan ukhuwah, setelah itu kekuatan tangan dan senjata. Sebuah jamaah tidak dapat dikatakan kuat sebelum terpenuhinya tiga kekuatan tersebut. Maka apabila kekuatan tangan dan senjata dipergunakan padahal shaf-nya masih bercerai berai, tatanannya beranbtakan dan iman serta akidahnya lemah niscaya akhir perjalanannya adalah kehancuran dan kebinasaan.”5

Akhirnya, itulah nukilan singkat yang menjelaskan kepada kita titik temu kedua Imam, Ibnu Taimiyah dan Hasan Al Banna, dalam rangka menjaga keutuhan ukhuwah dan jamaah, kesatuan hati dan jiwa. Mereka sepakat dalam hal bahwa:

1) Ukhuwah memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam

2) Ukhuwah merupakan kekuatan yang tidak terkalahkan oleh senjata apapun, apalagi hanya lantaran perbedaan dalam masalah furu’.

3) Kita diutamakan untuk meninggalkan hal-hal mustahabbat yang kiranya dapat menyebabkan lahirnya perpecahan dan membangkitkan kedengkian

footnote:

1) Al Fatawa, XXIV/173

2) Quwaid Nuraniyah Fiqhiyah, hal 42

3) Majmuah Ar Rosail, hal 269

4) Majmuah Ar Rosail (Tahta Rayah Al Islam), hal 100, 101

5) Majmuah Ar Rosail (Muktamar Al Khomis) hal 169

Sumber: Ma'an 'ala Thariqi Ad Da'wah, M. Abdul Halim Hamid

Tidak ada komentar: