Tampilkan postingan dengan label dakwah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dakwah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 01 Oktober 2009

Jangan Pernah Lelah Beramal

"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain". (Q.S. Al Insyirah: 7)


Ayyuhal Ikhwah rahimakumullah.

Tidak dipungkuri lagi dalam pandangan kita sebagai kader dakwah bahwa tabiat seorang mukmin sejati adalah berbuat, berbuat dan terus berbuat. Sehingga seluruh waktunya selalu diukur dengan produktivitas amalnya. Ia tidak akan pernah diam karena diam tanpa amal menjadi aib bagi orang beriman.


Seorang mukmin akan terus mencermati peluang-peluang untuk selalu berbuat. Maka perlu kita ingat dalam sanubari yang paling dalam bahwa 'nganggur' dapat menjadi pintu kehancuran. Tidaklah mengherankan banyak ayat maupun hadits yang memotivasi agar selalu berbuat dan berupaya untuk menghindari diri dari sikap malas dan lemah. Malas dan lemah berbuat dianggap sebagai sikap dan sifat buruk yang harus dijauhi orang-orang beriman.


Mengingat tugas dan tanggung jawab yang kita emban sangat besar dan masih banyak agenda yang menanti untuk diselesaikan maka segeralah untuk menyiapkan diri menunaikannya. Rasanya perlu dicamkan dalam benak pikiran kita akan nasehat syaikh Abdul Wahab Azzam: 'Pikiran tak dapat dibatasi, lisan tak dapat dibungkam, anggota tubuh tak dapat diam. Karena itu jika kamu tidak disibukan dengan hal-hal besar maka kamu akan disibukan dengan hal-hal kecil'.


Oleh karena itu Rasulullah SAW. segera memberangkatkan para sahabat dalam ekspedisi militer yang beruntun sesudah Badar untuk meminimalisir konflik internal yang amat mungkin terjadi lantaran berhenti sesudah amal besar.


Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.

Setiap kesempatan yang diberikan kepada seorang mukmin maka setiap saat itu pula ada satu kaedah perintah secara implisit untuk dapat mengukir prestasi dirinya. Agar apa yang dilakukannya dengan berputarnya waktu mampu disesuaikan dengan tuntutan zaman dan kapabilitas rijal-nya.

Seperti kaedah dakwah yang memaparkan, 'setiap dakwah ada marhalah (tahapan)nya dan setiap marhalah ada tuntutannya dan setiap tuntutan ada orangnya'.


Sangat mudah untuk dipahami bila setiap waktu ada tuntutannya maka kita mesti menyelaraskan diri agar sesuai dengannya. Tuntutan ini selaras dengan amanah yang diembankan kepada kita saat ini. Dan dalam pandangan Islam setiap amanah merupakan sesuatu tugas yang tidak boleh dikhianati atau diabaikan hingga tidak dapat menunaikannya dengan baik.


Inilah kesempatan emas bagi kita untuk mengukir ukiran terindah dalam hidup kita secara personal maupun kolektif agar kita mampu memberikan cermin indah bagi orang lain ataupun generasi berikutnya. Inilah saat yang tepat bagi kita mengukir prestasi. Pergunakanlah sebaik-baiknya agar kita memiliki investasi besar dalam dakwah ini.


Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.

Kita telah mafhum bahwa kemarin kita telah memaksimalkan tadhiyah untuk jihad siyasi. Dan kitapun telah mengetahui balasan yang diberikan Allah atas upaya maksimal kita. Namun bukan berarti kita telah selesai dalam amal jihadiyah ini. melainkan kita menindak lanjuti prosesi amal ini. Agenda besar yang dapat kita lakukan adalah:


Pertama, Recovery tarbiyah,

Maksudnya adalah mengembalikan iklim tabawi seperti semula yang menanamkan sikap komitmen pada Islam sikap kekokohan maknawi dan militansi nilai-nilai dakwah. Begitu pula tentang apakah perjalanan liqa tarbawinya sebagaimana perjalanan di waktu normal.


Memang kita akui bahwa saat kemarin perjalanan liqa tarbawi ini sedikit mengalami 'gangguan'. Juga kondisi ruhaniyah dan moral para kader dakwah yang selalu menjadi pijakan dasar bagi para kader apakah dalam kondisi prima ataukah sebaliknya. Sehingga aktivitas yang biasa dilakukan melalui mabit-mabit dapat dikerjakan atau jalasah ruhiyah yang selalu diagendakan bagi akhwat dan lainnya. Hal ini tentu berdasarkan pada pandangan bahwa tarbiyahlah yang menjadi pijakan dakwah kita sehingga aktivitas ini harus segera diin'asy (disegarkan) kembali.


Kedua, Taushi'atut Tajnid (Ekspansi Rekrutmen)

Sesudah banyak orang yang berhimpun dalam barisan dakwah ini maka kita harus memberikan hak tarbiyah mereka. Apalagi mereka pun sesungguhnya sangat menanti kehadiran kader dakwah untuk bisa membina diri mereka dan menjadikan mereka sebagai bagian dari mesin besar dakwah ini.

Pada waktu yang lalu rekrutmen kader terbatas pada satu pintu tertentu, yakni kalangan akademisi. Di hari ini segmentasi rekrutmen sudah sangat beragam. Sehingga para junud dakwah ini harus dapat mengantisipasi untuk memperluas wilayah pembinaan di berbagai kalangan. Orang-orang yang telah berhimpun itu secara tidak langsung mengandung tanggung jawab untuk membina mereka menjadi kader yang sesunguhnya.


Ketiga, Ta'amuq Dzaty,

Yaitu memperdalam kualitas dan kemampuan diri. Sudah kita ketahui bahwa semakin banyak amanah yang dipercayakan umat kepada kita maka harus semakin meningkat kualitas dan kemampuan kita untuk dapat menunaikannya. Dan sekarang amanah yang diserahkan kepada kita pun dengan urusan yang beragam. Sehingga kita pun selayaknya memperdalam kemampuan kita untuk dapat menyelesaikan urusan orang banyak yang beragam.


Keempat, Taqwiyatu Billah,

Yaitu memperkokoh hubungan dengan Allah SWT. yang dapat menjadikan diri kita mampu dan kuat tidak lain karena hubungan yang kuat pula pada Allah SWT. sehingga kita tidak boleh mengabaikan amal-amal yang menghantar diri kita ke arah itu. Dan amaliyah ini sedapat mungkin menjadi harian kader yang selalu menghias pada jiwa dan raganya.


Semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan kepada diri kita untuk dapat melaksanakan tugas-tugas yang kita emban hari ini. Amien.


"Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan". (Q.S. At Taubah: 105).

PANDANGAN DUA IMAM TERHADAP UKHUWAH DAN JAMAAH

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Hasan Al Banna telah memberikan perhatian yang demikian besar bagi terbentuknya ikatan hati (ta’liful qulub) dan kesatuan jiwa disepanjang kehidupan mereka berdua, baik melalui interaksinya dengan masyarakat di kancah dakwah, maupun dalam tulisan dan pesan-pesannya.

Perbedaan Masalah Fiqih Tidak Boleh Melahirkan Perpecahan

Kedua imam telah menekankan pembicaraan dalam masalah ini, bahwa tidak seyogyanya perbedaan dalam masalah fiqh berakibat adanya perpecahan, permusuhan, dan saling mendengki. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “ Perbedaan dalam masalah fiqh adalah sesuatu yang sulit dideteksi karena banyaknya. Hingga apabila setiap perbedaan yang terjadi pada dua orang muslim menjadikan mereka berselisih, niscaya tidak tersisa lagi ditengah kaum muslimin ‘ishmah (perlindungan) dan ukhuwah.” 1

Pada masa lalu telah terjadi perpecahan hebat dalam tubuh kaum muslimin, karena perbedaan dalam masalah fiqh. Perpecahan tersebut sampai menimbulkan pertikaian dan permusuhan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah jelas mengingkari kenyataan pahit semacam ini, karena tidak senafas dengan jiwa kislaman dan keimanan yang penuh dengan pesan persaudaraan dan ikatan hati. Ia banyak menjelaskan hal ini dalam beberapa tulisannya ketika menguraikan masalah khilaf dan fiqh. Antara lain ia berkata, “ Adapun tentang shalat, maka masalah yang banyak diperselisihkan antara lain seputar basmalah. Mereka mempermaslakan apakah basmalah itu wajib dibaca atau tidak, ia termasuk msalah satu ayat Al Quran atau tidak, hingga perbedaan bagaimana membacanya. Masing-masing pihak menyusun banyak tulisan. Namun demikian, banyak terlihat di sana adanya sikap berlebih-lebihan, bodoh dan zalim padahal masalah sebenarnya adalah sederhana.

Oleh karena itu sikap fanatik dengan pendapat seperti demikian adalah bagian dari bentuk perbedaan dan perpecahan yang kami ingkari. Karena orang yang menyeru pada pendapat tersebut merupakan biang perpecahan. Kalau bukan saja karena syetan yang berusaha menanamkan rasa hasud dan dendam, masalah ini sebenarnya masalah yang paling ringan.” 2

Syaikhul Islam telah menjelaskan bagaimana tingginya kedudukan ta’lif al qulub (ikatan hati) dalam islam. Dan ia begitu sungguh-sungguh memelihara meskipun sebagai konsekwensinya harus meninggalkan amal yang mustahab. Kenapa sampai demikian, karena dalam ikatan hati terdapat maslahat yang lebih agung bagi Islam dan kaum muslimin. Dengannya bangunan Islam menjadi kuat dan kokoh.

Pemeliharaan ikatan hati ini merupakan manhaj Rasul saw dalam dakwahnya, termasuk juga dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Para sahabat ra juga telah memegang teguh prinsip ini sebagai bukti iqtida’ (pengambilan contoh) mereka kepada Rosulullah saw. Ibnu Taimiyah menukilkan pendapat beberapa pendapat ulama seraya berkata, “Seseorang dianjurkan untuk mewujudkan ta’liful qulub meskipun –terkadang- dengan meninggalkan amal mustahabbat. Hal ini karena ta’liful qulub dalam timbangan Islam lebih membawa maslahat daripada mengamalkan mustahabbat. Sebagaimana Nabi saw menunda perbaikan Baitullah, karena dengan membiarkannya akan ada maslahat yang lebih besar. Sebagaimana Ibnu Mas’ud- ia mengingkari shalat itmam (sempurna rakaatnya) dalam safar sebagaimana pendapat Utsman ra- shalat dengan itmam di belakang Utsman ra dan berkata , ‘Khilaf itu jelek’ “.

Imam Syahid Hasan Al Banna berkata dalam rukun Al Fahm, “Khilaf fiqih dalam masalah furu’ seyogyanya tidak menjadi sebab perpecahan dalam agama, tidak menimbulkan adanya perecahan dan saling membenci. Setiap mujtahid mendapatkan pahalanya. Meskipun demikian tidaklah mengapa membahasnya secara ilmiah dan di bawah naungan cinta karena Allah, serta bekerja sama mencapai kebenaran tanpa harus menyeretnya ke jurang ta’ashub.” 3

Imam Syahid menjelaskan bahwa tujuan Ikhwanul Muslimin adalah mewujudkan pribadi muslim, rumah tangga muslim, masyarakat muslim, dan pemerintahan muslim yaitu pemerintah yang akan memimpin negeri-negeri Islam dan menghimpun seluruh komunitas kaum muslimin, menegakan kembali menara keagungan mereka, mengembalikan tanah air, bumi dan negeri mereka yang selama ini terampas kemudian memanggul bendera jihad dan panji dakwah kepada Allah sehingga dunia ini tunduk di bawah naungan Islam.

Setelah menjelaskan tujuan ini ia menjelaskan bekal yang harus dimiliki untuk mewujudkannya seraya berkata, “ Bekal kami adalah orang-orang salaf (pendahulu) kami, dan senjata yang pernah dipakai pemimpin dan teladan kami, Muhammad saw dan para sahabatnya untuk bertempur dengan sedikit bilangan dan minim perlengkapan, namun besar kesungguhan. Itulah senjata yang akan kami pakai dalam rangka memperjuangkan dunia ini dari mula.”4

“ Mereka tahu bahwa tingkatan pertama kekuatan adalah kekuatan akidah dan iman, kemudian persatuan dan ukhuwah, setelah itu kekuatan tangan dan senjata. Sebuah jamaah tidak dapat dikatakan kuat sebelum terpenuhinya tiga kekuatan tersebut. Maka apabila kekuatan tangan dan senjata dipergunakan padahal shaf-nya masih bercerai berai, tatanannya beranbtakan dan iman serta akidahnya lemah niscaya akhir perjalanannya adalah kehancuran dan kebinasaan.”5

Akhirnya, itulah nukilan singkat yang menjelaskan kepada kita titik temu kedua Imam, Ibnu Taimiyah dan Hasan Al Banna, dalam rangka menjaga keutuhan ukhuwah dan jamaah, kesatuan hati dan jiwa. Mereka sepakat dalam hal bahwa:

1) Ukhuwah memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam

2) Ukhuwah merupakan kekuatan yang tidak terkalahkan oleh senjata apapun, apalagi hanya lantaran perbedaan dalam masalah furu’.

3) Kita diutamakan untuk meninggalkan hal-hal mustahabbat yang kiranya dapat menyebabkan lahirnya perpecahan dan membangkitkan kedengkian

footnote:

1) Al Fatawa, XXIV/173

2) Quwaid Nuraniyah Fiqhiyah, hal 42

3) Majmuah Ar Rosail, hal 269

4) Majmuah Ar Rosail (Tahta Rayah Al Islam), hal 100, 101

5) Majmuah Ar Rosail (Muktamar Al Khomis) hal 169

Sumber: Ma'an 'ala Thariqi Ad Da'wah, M. Abdul Halim Hamid

Selasa, 29 September 2009

Ilmu Pembersih Hati

Ada sebait do'a yang pernah diajarkan Rasulullah SAW dan disunnahkan untuk dipanjatkan kepada Allah Azza wa Jalla sebelum seseorang hendak belajar. do'a tersebut berbunyi : Allaahummanfa'nii bimaa allamtanii wa'allimnii maa yanfa'uni wa zidnii ilman maa yanfa'unii. Dengan do'a ini seorang hamba berharap dikaruniai oleh-Nya ilmu yang bermanfaat.

Apakah hakikat ilmu yang bermamfaat itu? Secara syariat, suatu ilmu disebut bermamfaat apabila mengandung mashlahat - memiliki nilai-nilai kebaikan bagi sesama manusia ataupun alam. Akan tetapi, mamfaat tersebut menjadi kecil artinya bila ternyata tidak membuat pemiliknya semakin merasakan kedekatan kepada Dzat Maha Pemberi Ilmu, Allah Azza wa Jalla. Dengan ilmunya ia mungkin meningkat derajat kemuliaannya di mata manusia, tetapi belum tentu meningkat pula di hadapan-Nya.

Oleh karena itu, dalam kacamata ma'rifat, gambaran ilmu yang bermamfaat itu sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh seorang ahli hikmah. "Ilmu yang berguna," ungkapnya, "ialah yang meluas di dalam dada sinar cahayanya dan membuka penutup hati." seakan memperjelas ungkapan ahli hikmah tersebut, Imam Malik bin Anas r.a. berkata, "Yang bernama ilmu itu bukanlah kepandaian atau banyak meriwayatkan (sesuatu), melainkan hanyalah nuur yang diturunkan Allah ke dalam hati manusia. Adapun bergunanya ilmu itu adalah untuk mendekatkan manusia kepada Allah dan menjauhkannya dari kesombongan diri."

Ilmu itu hakikatnya adalah kalimat-kalimat Allah Azza wa Jalla. Terhadap ilmunya sungguh tidak akan pernah ada satu pun makhluk di jagat raya ini yang bisa mengukur Kemahaluasan-Nya. sesuai dengan firman-Nya, "Katakanlah : Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menuliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (dituliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)." (QS. Al Kahfi [18] : 109).

Adapun ilmu yang dititipkan kepada manusia mungkin tidak lebih dari setitik air di tengah samudera luas. Kendatipun demikian, barangsiapa yang dikaruniai ilmu oleh Allah, yang dengan ilmu tersebut semakin bertambah dekat dan kian takutlah ia kepada-Nya, niscaya "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al Mujadilah [58] : 11). Sungguh janji Allah itu tidak akan pernah meleset sedikit pun!

Akan tetapi, walaupun hanya "setetes" ilmu Allah yang dititipkan kepada mnusia, namun sangat banyak ragamnya. ilmu itu baik kita kaji sepanjang membuat kita semakin takut kepada Allah. Inilah ilmu yang paling berkah yang harus kita cari. sepanjang kita menuntut ilmu itu jelas (benar) niat maupun caranya, niscaya kita akan mendapatkan mamfaat darinya.

Hal lain yang hendaknya kita kaji dengan seksama adalah bagaimana caranya agar kita dapat memperoleh ilmu yang sinar cahayanya dapat meluas di dalam dada serta dapat membuka penutup hati? Imam Syafii ketika masih menuntut ilmu, pernah mengeluh kepada gurunya. "Wahai, Guru. Mengapa ilmu yang sedang kukaji ini susah sekali memahaminya dan bahkan cepat lupa?" Sang guru menjawab, "Ilmu itu ibarat cahaya. Ia hanya dapat menerangi gelas yang bening dan bersih." Artinya, ilmu itu tidak akan menerangi hati yang keruh dan banyak maksiatnya.

Karenanya, jangan heran kalau kita dapati ada orang yang rajin mendatangi majelis-majelis ta'lim dan pengajian, tetapi akhlak dan perilakunya tetap buruk. Mengapa demikian? itu dikarenakan hatinya tidak dapat terterangi oleh ilmu. Laksana air kopi yang kental dalam gelas yang kotor. Kendati diterangi dengan cahaya sekuat apapun, sinarnya tidak akan bisa menembus dan menerangi isi gelas. Begitulah kalau kita sudah tamak dan rakus kepada dunia serta gemar maksiat, maka sang ilmu tidak akan pernah menerangi hati.

Padahal kalau hati kita bersih, ia ibarat gelas yang bersih diisi dengan air yang bening. Setitik cahaya pun akan mampu menerangi seisi gelas. Walhasil, bila kita menginginkan ilmu yang bisa menjadi ladang amal shalih, maka usahakanlah ketika menimbanya, hati kita selalu dalam keadaan bersih. hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari ketamakan terhadap urusan dunia dan tidak pernah digunakan untuk menzhalimi sesama. Semakin hati bersih, kita akan semakin dipekakan oleh Allah untuk bisa mendapatkan ilmu yang bermamfaat. darimana pun ilmu itu datangnya. Disamping itu, kita pun akan diberi kesanggupan untuk menolak segala sesuatu yang akan membawa mudharat.

Sebaik-baik ilmu adalah yang bisa membuat hati kita bercahaya. Karenanya, kita wajib menuntut ilmu sekuat-kuatnya yang membuat hati kita menjadi bersih, sehingga ilmu-ilmu yang lain (yang telah ada dalam diri kita) menjadi bermamfaat.

Bila mendapat air yang kita timba dari sumur tampak keruh, kita akan mencari tawas (kaporit) untuk menjernihkannya. Demikian pun dalam mencari ilmu. Kita harus mencari ilmu yang bisa menjadi "tawas"-nya supaya kalau hati sudah bening, ilmu-ilmu lain yang kita kaji bisa diserap seraya membawa mamfaat.

Mengapa demikian? Sebab dalam mengkaji ilmu apapun kalau kita sebagai penampungnya dalam keadaan kotor dan keruh, maka tidak bisa tidak ilmu yang didapatkan hanya akan menjadi alat pemuas nafsu belaka. Sibuk mengkaji ilmu fikih, hanya akan membuat kita ingin menang sendiri, gemar menyalahkan pendapat orang lain, sekaligus aniaya dan suka menyakiti hati sesama. Demikian juga bila mendalami ilmu ma'rifat. Sekiranya dalam keadan hati busuk, jangan heran kalau hanya membuat diri kita takabur, merasa diri paling shalih, dan menganggap orang lain sesat.

Oleh karena itu, tampaknya menjadi fardhu ain hukumnya untuk mengkaji ilmu kesucian hati dalam rangka ma'rifat, mengenal Allah. Datangilah majelis pengajian yang di dalamnya kita dibimbing untuk riyadhah, berlatih mengenal dan berdekat-dekat dengan Allah Azza wa Jalla. Kita selalu dibimbing untuk banyak berdzikir, mengingat Allah dan mengenal kebesaran-Nya, sehingga sadar betapa teramat kecilnya kita ini di hadapan-Nya.

Kita lahir ke dunia tidak membawa apa-apa dan bila datang saat ajal pun pastilah tidak membawa apa-apa. Mengapa harus ujub, riya, takabur, dan sum'ah. Merasa diri besar, sedangkan yang lain kecil. Merasa diri lebih pintar sedangkan yang lain bodoh. Itu semua hanya karena sepersekian dari setetes ilmu yang kita miliki? Padahal, bukankah ilmu yang kita miliki pada hakikatnya adalah titipan Allah jua, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mengambilnya kembali dari kita?

Subhanallaah! Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh-Nya untuk mendapatkan ilmu yang bisa menjadi penerang dalam kegelapan dan menjadi jalan untuk dapat lebih bertaqarub kepada-Nya.***

Sabtu, 19 September 2009

Fidyah

1. Bagi Siapa Fidyah Itu?

Bagi ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap harinya seorang miskin, dalilnya adalah firman Allah:

"Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makanan seorang miskin." (Al Baqarah : 184)

Sisi pendalilannya, bahwasanya ayat ini adalah khusus bagi orang yang sudah tua renta (baik laki-laki maupun perempuan), orang sakit yang tidak ada harapan kesembuhannya, ibu hamil dan menyusui, jika dikhawatirkan keadaan keduanya, sebagaiman akan datang penjelasannya dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.

2. Penjelasan Ibnu Abbas Rhadiyallahu anhuma

Engkau telah mengetahui wahai saudarakau seiman, bahwasanya dalam pembahasan yang lalu ayat ini mansuhk berdasarkan dua hadits Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu 'anhu, tetapi ada riwayat dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat ini tidak mansukh dan ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka hendaknya memberi makan setiap hari seorang miskin.1

Oleh karena itulah Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma dianggap menyelisihi jumhur sahabat atau pendapatnya saling bertentangan, lebih khusus lagi jika engkau mengetahui bahwasanya beliau menegaskan adanya mansukh. Dalam riwayat lain (disebutkan):

"Diberi rukhsah bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua yang tidak mampu berpuasa, hendaknya bebuka kalau mau, atau memberi makan seorang miskin dan tidak ada qadha"

Kemudian dimansukh oleh ayat:

"Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (Al Baqarah : 185).

Telah shahih bagi kakek dan nenek yang sudah tua jika tidak mampu berpuasa, ibu hamil dan menyusui yang khawatir keadaan keduanya untuk berbuka, kemudian memberi makan setiap harinya seorang miskin.2

Sebagian orang ada yang melihat dhahir riwayat yang lalu, yaitu riwayat Bukhari pada kitab Tafsir dalam Shahihnya yang menegaskan tidak adanya naskh, sehingga mereka menyangka Hibarul Ummat (Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma) menyelisihi jumhur, tetapi tatkala diberikan riwayat yang menegaskan adanya naskh mereka menyangka adanya saling pertentangan.

3. Yang Benar Ayat Tersebut (Al Baqarah : 185) Mansukh

Yang benar dan tidak diragukan lagi ayat tersebut adalah mansukh, tetapi dalam pengertian orang-orang terdahulu, karena salafus shalih Ridhwanullahu 'alaihim menggunakan kata naskh untuk menghilangkan pemakaian dalil-dalil umum, mutlak dan dhahir dan selainnya, adapun dengan mengkhususkan atau mengaitkan atau menunjukkan yang mutlaj kepada muqayyad, penafsirannya, penjelasannya sehingga mereka menamakan istitsna' (pengecualian), syarat dan sifat sebagai naskh. Karena padanya mengandung penghilangan makna dan dhahir maksud lafadz tersebut. Naskh dalam bahasa arab menjelaskan maksud tanpa memakai lafadz tersebut, bahkan (bisa juga) dengan sebab dari luar.3

Sudah diketahui bahwa barangsiapa yang memperhatikan perkataan mereka (orang arab) akan melihat banyak sekali contoh maslah tersebut, sehingga akan hilanglau musykilat (problema) yang disebabkan memaknakan perkataan salafus shalih dengan pengertian yang baru yang mengandung penghilangan hukum syar'i yang dinisbatkan kepada mukallaf.

4. Ayat Tersebut Bersifat Umum

Yang menguatkan hal ini, ayat di atas adalah bersifat umum bagi seluruh mukallaf yang mencakup oran yang biasa berpuasa atau tidak berpuasa. Penguat hal ini dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan Imam Muslim dari Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu 'anhu, "Kami pernah pada bulan Ramadhan bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, barangsiapa yang mau puasa maka puasalah, dan barangsiapa yang mau berbuka maka berbukalah, tetapi harus berbuka dengan memberi fidyah kepada seorang miskin, hingga turun ayat:

"Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (Al Baqarah : 185).

Mungkin adanya masalah itu karena hadits Ibnu Abbas yang menegaskan adanya nash bahwa ruskhsah itu untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang jika jelas bagimu bahwa hadits tersebut hanya sebagai dalil bukan membatasi orangnua, dalil untuk memahami hal ini tersepat pada hadits itu sendiri. Jika rukhshah tersebut hanya untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia saja kemudian dihapus (dinaskh), hingga tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia, maka apa makna rukhshah yang ditetapkan dan yang dinafikan itu jika penyebutan mereka bukan sebagai dalil ataupun pembatasan?

JIka engkau telah merasa jelas dan yakin, serta berpendapat bahwa makna ayat mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi yang tidak mampu berpuasa, hukum yang pertama mansukh dengan dalil Al Qur-an adapun hukum yang kedua dengan dalil dari sunnah dari tidak akan dihapus sampai hari kiamat.

Yang menguatkan akan hal ini adalah pernyataan Ibnu Abbas dalam riwayat yang menjelaskan adanya naskh, "Telah tetap bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, serta wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir keadaan keduanya, untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya."

Dan yang menambah jelas lagi hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu'anhu, "Adapun keadaan-keadaan puasa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam datang ke Madinah menetapkan puasa selama tiga hari setiap bulannya, puasa Asyura' kemudian Allah mewajibkan puasa turunlah ayat:

"Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa..." (Al Baqarah : 183)

Kemudian Allah menurunkan ayat:

"Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan padanya Al Qur-an..." (Al Baqarah : 185).

Allah menetapkan puasa bagi orang mukmin yang sehat, dan memberi rukhshah bagi orang yang sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa, inilah keadaan keduanya..."4

Dua hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, yakni ayat ini dikhususkan.

oleh karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma mencocoki sahabat, haditsnya mencocoki dua hadits yang lainnya yaitu hadits Ibnu Umar dan Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu 'anhum, dan juga tidak saling bertentangan. Perkataannya 'tidak mansukh' ditafsirkan oleh perkataannya: itu mansukh, yakni ayat ini dikhususkan. Dengan keterangan ini jelaslah bahwa naskh dalam pemahaman sahabat berlawanan dengan pengkhususan dan pembatasan di kalangan ahli ushul mutaakhirin, demikian diisyaratkan oleh Al Qurtubi dalam tafsirnya.5

5. Hadits Ibnu Abbas dan Muadz Hanya Ijtihad?

Mungkin engkau menyangka wahai saudara muslim bahwa hadits dari Ibnu Abbas dan Muadz hanya semata ijtihad dan pengkhabaran hingga faedah bisa naik ke tingkatan hadits marfu' yang bisa mengkhususkan pengumuman dalam Al Qur-an dan membatasi yang mutlaknya, menafsirkan yang global. Jawabannya sebagai berikut:

a. Dua hadits ini memiliki hukum marfu' menurut kesepakatan ahlul ilmi tentang hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Seorang yang beriman mencintai Allah dan Rasul-Nya tidak boleh menyelisihi dua hadits ini jika ia anggap shahih, karena hadits ini ada dalam tafsir ketika menjelaskan asbabun nuzul, yakni dua sahabat ini menyaksikan wahyu dan turunnya Al Qur-an, bahwa turunnya begini, maka ia adalah hadits yang musnad.6

b. Ibnu Abbas menetapkan hukum inbi bagi wanita yang menyusui dan hamil. Dari mana beliau mengambil hukum ini? Tidak diragunak lagi beliau mengambil dari sunnah, terlebih lagi beliau tidak sendirian tapi disepakati oleh Abdullah bin Umar yang meriwayatkan bahwa hadits ini mansukh.

Dari Malik bin Nafi' bahwasanya Ibnu Umar ditanya tentang seorang wanita yang hamil jika ia mengkhawatirkan anaknya. Beliau berkata, "Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin."7

Daruquthni meriwayatkan (1/270) dari Ibnu Umar dan beliau menshahihkannya, bahwa beliau (Ibnu Umar) berkata, "Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak meng-qadha." Dari jalan lain beliau meriwayatkan bahwa seorang wanita hamil bertanya kepada Ibnu Umar, beliau menjawab, "Berbukalah, dan berilah makan orang miskin setiap harinya dan tidak perlu meng-qadha." sanadnya jayyid Dan dari jalan yang ketiga, yaitu anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang Quraisy, dan hamil. Dia kehausan ketika puasa Ramadhan, Ibnu Umar pun menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin.

c. Tidak ada sahabat yang menentang Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.8

6. Wanita Hamil dan Menyusui Gugur Kewajiban Puasanya

Keterangan ini menjelaskan makna, "Allah menggugurkan kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui" yang terdapat dalam hadits Anas yang lalu, yakni dibatasi 'kalau mengkhawatirkan diri dan anaknya', dia bayar fidyah tidak meng-qadha.

7. Musafir Gugur Kewajiban Puasanya dan Wajinb Meng-qadha

Barangsiapa menyangka gugurnya kewajiban puasa wanita hamil dan menyusui sama dengan musafir sehingga mengharuskan qadha', perkataan ini tertolak karena Al Qur-an menjelaskan makna gugurnya kewajiban puasa dari musafir:

"Barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Al Baqarah : 184)

Dan Allah menjelaskan makna gugurnya kewajiban puasa bagi yang tidak mampu menjalankannya dalam firman-Nya:

"Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin." (Al Baqarah : 184).

Maka jelaslah bagi kalian, bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk orang yang tercakup dalam ayat ini, bahkan ayat ini adalah kusus untuk mereka.

--------------------------------

1. HR Bukhari (8/135).

2. Ibnu Jarud (381), Al Baihaqi (4/230), Abu Dawud (2318) sanadnya shahih.

3. Lihat I'lamul Muwaqi'in (1/35) karya Ibnul Qayyim dan Al Muwaqafat (3/118) karya Imam Syatibi.

4. HR. Abu Dawud dalam Sunannya (507), Al Baihaqi dalam Sunannya (4/200), Ahmad dalam Musnad (5/246-247) dan sanadnya shahih.

5. Al Jami' li Ahkamil Qur-an (2/288).

6. Lih: Tadribur Rawi (1/192-193) karya Suyuthi, 'Ulumul Hadits (24) karya Ibnu Shalah.

7. Al Baihaqi dalam As Sunnan (4/230) dari jalan Imam Syafi'i, sanadnya shahih.

8. Sebagaimana dinashkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (3/21).

Hakikat Silaturahmi

Rasulullah SAW bersabda, ''Siapa yang senang diperluas rezekinya dan diperpanjang umurnya, maka hendaklah ia bersilaturahim.'' (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata 'silaturahmi' yang dinilai sama dengan silaturahim diartikan dengan persahabatan (persaudaraan).

Sedangkan kata silaturahim merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata shilah dan ar-rahim. Kata shilah adalah masdar (infinitif) dari kata washala yang artinya menghimpun atau menyambung sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan kata ar-rahim oleh sebagian besar pakar bahasa Arab diartikan dengan peranakan.

Namun, mantan mufti Mesir, almarhum Syekh Hasanain Makhluf, mengartikan kata ar-rahim dengan rahmat atau kasih sayang. Kedua pengertian ini sebenarnya tidak bertentangan, sebab sesuatu yang paling dirahmati dan dikasihi makhluk adalah apa yang keluar dari rahim (peranakan). Oleh karena itu, peranakan dikatakan rahipm, yakni sumber rasa kasih sayang.

Pakar Alquran dan hukum Islam, Imam Al-Qurthubiy, lebih memperluas jangkauan makna kata ar-rahim. Menurut dia, makna ar-rahim ada dua macam: umum dan khusus. Makna ar-rahim yang bersifat umum adalah kedekatan yang dijalin oleh persamaan agama. Sedangkan yang khusus adalah kedekatan yang dijalin oleh persamaan garis keturunan.

Silaturahim, dengan makna yang pertama, mengundang hubungan kasih sayang, nasihat-menasihati, kunjung-mengunjungi, berlaku adil, dan melaksanakan kewajiban, serta anjuran agama terhadap mereka. Adapun silaturahim, dengan makna yang khusus, maka ia menuntut pemberian bantuan atau nafkah ketika dibutuhkan, juga memperhatikan suka duka mereka, serta memaafkan kesalahan mereka.

Jika dengan makna khusus itu saja, silaturahim telah membawa dampak yang sangat besar dalam menciptakan keharmonisan jalinan keluarga dan masyarakat. Dampaknya akan lebih besar lagi jika maknanya diambil yang umum, yang tidak hanya menuntut terciptanya keharmonisan ukhuwah fi ad-din (persaudaraan seagama), tapi juga keharmonisan ukhuwah al-khalqiyah (persaudaraan sesama makhluk).

''Tidak ada binatang yang merayap di bumi, dan burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan mereka adalah umat seperti kalian. Tidak kami luputkan dalam kitab itu sesuatu, kemudian kepada Tuhan merekalah, mereka akan dikumpulkan.'' (QS Al-An'an:38). Ayat tersebut memberi gambaran tentang pentingnya jalinan persaudaraan sesama makhluk, dan pengakuan Allah SWT akan hal itu.

Yang jelas, sebagaimana yang dikatakan Prof Quraish Shihab, apa pun makna yang dimaksudkan, silaturahim menuntut adanya komunikasi dan jaringan. Dengan demikian, silaturahim mengisyaratkan keharmonisan hubungan dan kekuatannya. Oleh karena itu, Rasulullah SAW tidak menilai orang yang membalas kunjungan atau menyambut uluran tangan pihak lain sebagai melakukan silaturahim, tetapi yang melakukannya adalah siapa yang menyambung hubungan yang putus.


Minggu, 13 September 2009

Malam Lailatul Qadar


Malam Lailatul Qadar - Malam Seribu Bulan
Penulis: yaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
Fiqh, 18 Oktober 2004, 05:19:43

Malam Lailatul Qadar

Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al Quran Al Karim yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Ummat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini (malam Lailatul Qodar/Nuzul Qur'an, red), akan tetapi mereka bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.

Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur'aniyah dan hadits-hadits Nabawiyyah yang shahih yang menjelaskan tentang malam tersebut.

1. Keutamaan Malam Lailatul Qadar
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ﴿١﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ﴿٢﴾ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ﴿۳﴾ تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ ﴿٤﴾ سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ﴿٥﴾ [القدر: ١ - ٥]
(yang artinya) [1] Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. [2] Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? [3] Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. [4] Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. [5] Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. [QS Al Qadar: 1 - 5]

Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan nan penuh hikmah :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ﴿۳﴾ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ ﴿٤﴾ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ ﴿٥﴾ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ﴿٦﴾ [الدخان: ۳ - ٦]
(yang artinya) :
"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. [4] Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, [5] (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, [6] sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."[QS Ad Dukhoon: 3 - 6]

2. Waktunya

Diriwayatkan dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bahwa malam tersebut terjadi pada malam tanggal 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam bulan Ramadhan. (Pendapat-pendapat yang ada dalam masalah ini berbeda-beda, Imam Al Iraqi telah mengarang satu risalah khusus diberi judul Syarh Shadr bidzkri Lailatul Qadar, membawakan perkatan para ulama dalam masalah ini, lihatlah).
Imam Syafi’I berkata : “Menurut pemahamanku, wallahu a’lam, Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau : “Apakah kami mencarinya di malam hari?”, beliau menjawab : “Carilah di malam tersebut.”. (Sebagaimana dinukil al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (6/388).

Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadr itu pada malam terakhir bulan Ramadhan, berdasarkan hadits ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, dia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda : (yang artinya) “Carilah malam Lailatur Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”. (HR Bukhari 4/255 dan Muslim 1169)

Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat Ibnu Umar (dia berkata) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya.” (HR Bukari 4/221 dan Muslim 1165).

Ini menafsirkan sabdanya : (yang artinya) “Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, maka barangsiapa ingin mencarinya, carilah pada tujuh hari yang terakhir.” (Lihat maraji’ diatas).

Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam keluar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau bersabda : “Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Laitul Qadar, tetapi fulan dan fulan (dua orang) berdebat hingga diangkat tidak bisa lagi diketahui kapan lailatul qadar terjadi), semoga ini lebih baik bagi kalian, maka carilah pada malam 29,27,25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan, lima). (HR Bukhari 4/232).

Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum, sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan daripada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah. Maka dengan ini, cocoklah hadits-hadits tersebut, tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisahkan.

Kesimpulannya :
Jika seseorang muslim mencari malam Lailatul Qadar, carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir, 21, 23, 25, 27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari ppada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25, 27 dan 29. Wallahu a’lam.

Paling benarnya pendapat lailatul qadr adalah pada tanggal ganjil 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan, yang menunjukkan hal ini adalah hadits Aisyah, Ia berkata :
“Adalah Rasulullah beri’tikaf pada 10 terakhir pada bulan Ramadhan dan berkata : “Selidikilah malam lailatul qadr pada tanggal ganjil 10 terakhir bulan Ramadhan”.

3. Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar

Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu, dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahalaNya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu. (HR Bukhari 4/217 dan Muslim 759).

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “ Barangsiapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” yang telah lalu. (HR Bukhari 4/217 dan Muslim 759)

Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, (dia) berkata : “Aku bertanya, Ya Rasulullah (Shalallahu 'alaihi wassalam), Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan ?”. Beliau menjawab, “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii. Ya Allah, Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku.”. (HR Tirmidzi (3760), Ibnu Majah (3850), dari Aisyah, sanadnya shahih. Lihat syarahnya Bughyatul Insan fi Wadhaifi Ramadhan, halaman 55-57, karya ibnu Rajab al Hanbali.)

Saudaraku – semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaatiNya – engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan sholat) pada sepuluh malam hari terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada istrimu dan keluargamu untuk itu dan perbanyaklah amalan ketaatan.

Dari Aisyah Radiyallahu ‘anha, “Adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencangkan kainnya (menjauhi wanita yaitu istri-istrinya karena ibadah, menyingsingkan badan untuk mencari Lailatul Qadar), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR Bukhari 4/233 dan Muslim 1174).

Juga dari ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, (dia berkata) : “Adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir), yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya.” (HR Muslim 1174).

4. Tanda-tandanya

Ketahuilah hamba yang taat – mudah-mudahan Allah menguatkanmu dengan ruh dariNya dan membantu dengan pertolongaNya – sesungguhnya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.

Dari Ubay Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi.” (HR Muslim 762).

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam beliau bersabda : (yang artinya) “Siapa diantara kalian yang ingat ketika terbit bulan, seperti syiqi jafnah.” (HR Muslim 1170. Perkataannya “Syiqi Jafnah”, syiq artinya setengah, jafnah artinya bejana. Al Qadli ‘Iyadh berkata :”Dalam hadits ini ada isyarata bahwa malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan tidak akan seperti demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir bulan.”)

Dan dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “ (Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan.” (HR Thyalisi (349), Ibnu Khuzaimah (3/231), Bazzar (1/486), sanadnya hasan).


(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "Malam Lailatul Qadar". Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia)

Hukum-hukum sekitar I'tikaf

Hukum-hukum sekitar I'tikaf dalam pandangan Ulama' Ahlusunnah
Penulis: Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani
Fiqh, 20 Oktober 2004, 04:42:53

Hukumnya

I’tikaf adalah sunnah di bulan ramadhan dan yang lainnya sepanjang tahun, dalilnya adlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Sedang kalian dalam kedaan I’tikaf di masjid”. (QS. Al-Baqarah :187)

Disertai hadist-hadist shahih tentang I’tikaf Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula atsar-atsar yang mutawatir dari ulama Salaf dalam masalah itu. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al Mushannaf, karya Ibnu Abi syaibah dan Abdurrazzaq. *(Dulu disini pada cetakan yang lalu ada hadist, dalam masalah keutamaannya “Barangsiapa beri’tikaf suatu hari…” kemudian aku hilangkan, karena di kemudian hari jelas bagi saya lemahnya. Telah saya takhrij dan saya komentari dengan rinci dalam kitab ”Silsilah Dhoifah” 5347. Saya singkap penyakitnya yang sempat tersamarkan kepada saya dan juga kepada Al Haistany sebelum saya).

Telah terdapat riwayat bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam i’tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Syawal *(Potongan dari hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha, riwayat Bukhari Muslim dan Ibu Khuzaimah , dalam kitab shahih merekatelah ditahkrij dalam shahih Abu Dawud), dan ahwa Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam “Dahulu aku bernadzar di zaman jahiliyah untuk I’tikaf semalam di Masjidil Haram”? Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Penuhilah nadzarmu”. (maka Umar I’tikaf semalam).*(riwayat Bukhari, Muslim dan Ibnu Khuzaimah dan tambahan itu pada Bukhari dalam ssebuah riwayat, seperti terdapat dalam “Mukhtasar Shahih Bukhari” (995) dan telah ditakhrij dalam “Shahih Abu Dawud” juga no: 2136-2137).

Dan lebih ditekankan di bulan Ramadhan berdasarkan hadist Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ber i’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari. Dan pada tahun dimana beliau wafat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam I’tikaf selama 20 hari. (Riwayat Bukhari dan Ibnu Khuzaimah dalam shahih keduanya telah ditakhrij dalam sumber yang lalu no: 2126-2130).

Yang paling utama adalah pada akhir bulan Ramadhan, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam I’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau. (Riwayat Bukhari dan Ibnu Khuzaimah 2223 telah ditakhrij dalam Al-Irwa (996) dan “Shahih Abi Dawud” no :2125).

Syarat-syaratnya :
1. Tidak disyariatkan kecuali di dalam masjid-masjid berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan janganlah kalian melakukan jima’[1]dengan mereka sedang kalian beri’tikaf di masjid-masjid”). (Al Baqarah 187, Imam bukhari berdalil dengan ayat ini atas apa yang kami sebutkan, Berkata al Hafidz Ibnu Hajar :“ Sisi pendalilan dari ayat itu bahwa kalau seandainya I’tikaf itu sah selain dimasjid tidaklah akan dikhususkan pengharaman jima’ itu hanya padanya, karena jima’ itu membatalkan I’tikaf secara ijma’, maka diketahui dengan penyebutan masjid bahwa dimaksudkan I’tikaf itu tidak boleh kecuali di masjid). [“dan jangan kalian melakukan jima...” yakni “Jangan berjima’ dengan mereka “ ibnu Abbas mengatakan : kata (المبا شرة والملا مسة والمس) semuanya berarti jima’, akan tetapi Allah mengkinayahkan apa yang Ia kehendaki dengan apa yang Allah kehendaki. Riwayat Baihaqi (4/321) dengan sanad yang perawinya terpercaya.]

Berkata Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Disunnahkan, bagi seorang I’tikaf, agar tidak keluar kecuali untuk kebutuhan yang mesti dia lakukan. Tidak boleh menjenguk orang sakit, tidak boleh menyentuh wanita, tidak pula jima’ dengan mereka, dan tidak I’tikaf melainkan pada masjid jami’ (yang digunakan untuk shalat jamaah). Disunnahkan pula bagi yang I’tikaf untuk berpuasa. (Riwayat Baihaqi dengan sanad yang shahih, dan Abu Dawud dengan sanad yang Hasan, riwayat yang selanjutnya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dan telah di takhrij dalam Shahih Abu Dawud (2135) dan Irwa’ul Ghalil no 996.)

2. Dan hendaklah pada masjid jami’ agar tidak terpaksa keluar masjid untuk melaksanakan shalat jum’at, karena keluar untuk itu adalah wajib. Berdasarkan ucapan 'Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang lalu dalam sebuah riwayat. (“…dan tidak ada I’tikaf kecuali di masjid jami'”.). (Riwayat Baihaqi dari Ibnu Abbas : ”Sesungguhnya perkara yang paling Allah benci adalah bid’ah dan sesungguhnya termasuk bid’ah adalah I’tikaf di masjid-masjid yang ada di rumah)”.

Kemudian saya dapati pada hadist yang shahih dan jelas yang mengkhususkan keumuman makna (masjid-masjid) yang tersebut dalam ayat, yaitu hanya pada tiga masjid : Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsa dengan hadist Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :
“Tidak ada I’tikaf kecuali pada 3 masjid itu”). (Diriwayatkan oleh Thahawi, isma’ily dan Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Hudzaifah bin Al Yaman, dan telah ditakhrij dalam “Silsilah shahihah” no :2787 bersama dengan riwayat-riwayat yang lain. Dari apa yang saya sebutkan diatas dan semuanya shahih).

Dan diantara ulama salaf yang berpendapat demikian sebagaimana yang telah saya dapati, adalah sahabat Hudzaifah bin Al Yaman dan Sa'id bin Al Musayyib juga 'Atha’ rahimahullah. Akan tetapi ‘Atha’ tidak menyebutkan Masjidil Aqsa. Yang lain mengatakan masjid jami’ secara mutlak, tetapi yang lain menyelisihi mereka, dan mengatakan : ”Walaupun dalam masjid (atau mushala –pent) rumahnya”. Dan tidak tersembunyi lagi, bahwa mengambil pendapat yang sesuai dengan hadist, itulah yang semestinya, wallahu Subhanahu wa Ta’ala a’lam.

3. Disunnahkan untuk yang melakukan I’tikaf agar berpuasa sebagaimana yang lalu dari penjelasan Aisyah radhiyallahu ‘anha.[2]

Yang dibolehkan untuk orang yang berI’tikaf sbb :
a. Dibolehkan keluar dari masjid untuk buang hajat, juga mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dikeramasi atau disisir. Berkata Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dahulu megeluarkan kepalanya kepadaku sedang dia (dalam keadaan beri’tikaf) di masjid dan saya di kamar saya, kemudian saya sisir rambutnya.” Dalam riwayat : “Lalu saya cuci kepalanya dan diantara aku dan dia kayu dasar pintu dan saya dalam keadaan haid, dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk hajat seorang manusia, ketika itu beliau dalam keadaan I’tikaf.” (Riwayat Bukhari, Muslim, Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad dan tambahan lafadz itu dari keduanya. Telah ditakhrij dalam “Shahih Abu Dawud” (2131-2132) ).
b. Dibolehkan untuk seorang yang I’tikaf dan yang lain untuk berwudhu dalam masjid berdasarkan ucapan seseorang kepada yang melayani Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam : “ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berwudhu ringan di dalam masjid”. ( Riwayat Baihaqi dengan sanad baik dan Ahmad (51364) secara ringkas dengan snad yang shahih).
c. Dibolehkan pula membuat kemah kecil di bagian belakang masjid lalu ber’tikaf didalamnya, karena Aisyah dulu membuat tenda untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam [3]. [Disebut “Khiba” salah satu bentuk rumah-rumah orang arab yang terbuat dari bulu unta atau wol, dan bukan dari rambut, dibuat diatas 2 tiang atau 3.”Nihayah”.] Jika beliau beri’tikaf, dan itu atas perintah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam[4]. [Riwayat Bukhari dan Muslim dari hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha, riwayat perbuatan ‘Aisyah itu diriwayatkan oleh Bukhari adapun yang menerangkan perintah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, ada pada riwayat Muslim. Telah lewat takhrijnya pada hal.34 pada catatan kaki no.39]. Dan pernah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam satu kali beri’tikaf di qubah (semacam payung –pent) kecil[5] [aitu tenda kecil yang diatasnya melingkar. “Suddah” artinya semacam, naungan diatas pintu untuk menjaganya dari hujan, yang dimaksud, bahwa beliau meletakkan sepotong tikar di atas pintunya agar tidak terlihat oleh pandangan seseorang, sebagaimana yang dikatakan As-Sindy, lebih utama kita katakan : supaya pikiran orang yang beri’tikaf tidak tersibukkan orang yang lewat didepannya agar mendapatkan maksud dan ruh dari I’tikaf itu, sebagaimana yang diucapkan Ibnu Qoyyim : “Kebalikan dari apa yang dilakukan orang-orag bodoh dimana orang-orang beri’tika membuat semacam ruang tamu dan berbincang-bincang didalamnya. Ini adalah satu macam, sedang I’tikaf Nabi shallallahu ‘alaihii wa sallam adalah macam yang lain (berbeda, red), Allahlah yang memberi taufiq.] dengan naungan tikar[6]].[Ini adalah ujung hadist Abu Sa’id Al-Khudri, riwayat Muslim dan Ibnu Khuzaimah dalam shahih keduanya dan telah di Tahkrij dalam Shahih Abu Dawud no.1251]

Dibolehkannya Wanita beri’tikaf dan menengok suaminya di masjid
a. Dibolehkannya seorang wanita menengok suaminya yang ada di tempat I’tikafnya, dan hendaknya suaminya mengantarkannya sampai keluar pintu masjid, berdasarkan ucapan Shafiyah Radhiyallahu ‘anha : “Ketika itu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf dimasjid pada 10 hari terkhir bulan ramadhan, maka aku datang menengoknya di malam hari dan di sisinya isteri-isterinya yang sedang bergembira, lalu aku berbicara dengan beliau beberapa saat lalu aku berdiri untuk kembali, maka beliau shalallahu ‘alaihi wasallam katakan : “ Jangan kau terburu-buru sehingga aku antarkan”. Maka beliaupun berdiri bersamaku untuk mengantarkanku. Shafiyah radhiyallahu ‘anha tinggal di kampung Usmah bin Zaid. Tatkala berada di pintu masjid yang dekat dengan rumah Umi Salamah radhiyallahu ‘anha, lewat dua orang sahabat Anshar. Ketika mereka melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam keduanya mempercepat (langkahnya). Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata : “ Pelan-pelan ! Sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyah binti Huyai” (istri Rasulullah sendiri, red). Lalu keduanya mengatakan : “Subhanallah ! Wahai Rasulullah”. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan : “Sesungguhnya setan mengalir pada seseorag seperti mengalirnya darah Dan sungguh aku khawatir kalau setan membisikkan pada hati kalian berdua kejelekan atau beliau mengucap sesuatu.”. (Riwayat Bukhari, Muslim dan Abu Dawud tambahan, terakhir pada hadist itu dikeluarkan oleh Abu Dawud, telah ditakhrij dalam shahih Sunan Abu Dawud ,2144-2134).

b. Bahkan dibolehkan bagi wanita untuk I’tikaf bersama suaminya, atau sendirian. Berdasarkan ucapan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Telah I’tikaf bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seorang wanita yang isthihadhah (didalam sebuah riwayat dia adalah Umm Salamah) diantara isteri-isterinya dan dalam keadaan dia masih melihat kemerahan, kekuningan, bahkan kadang-kadang kami meletakkan bejana di bawahnya dalam keadaan dia tetap shalat”. (Riwayat Bukhari telah ditakhrij dalam Shahih Abu Dawud no.2138, riwayat yang lain adlah riwayat Said bin Manshur seperti terdapat dalam “Fathul Bari”4/281. Akan tetapi Darimi menyebutnya “Zaenab” 1/22 Wallahu a’lam.)

‘Aisyah juga mengatakan : “Dahulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf sepuluh hari terakhir pada bulan ramadhan, sampai Allah mewafatkannya. Kemudian isteri-isteri beliau beri’tikaf setelahnya. (Riwayat Bukhari Muslim dan selain keduanya telah di takhrij hal.35, catatan kaki no.2)

Saya katakan : “Bahwa itu terdapat dalil, dibolehkannya juga wanita I’tikaf dan tidak diragukan bahwa itu dengan catatan, diizinkan waki-walinya untuk itu, serta aman dari fitnah dan tidak berkhalwat (menyendiri) dengan kaum lelaki. Berdasarkan banyak dalil dalam hal ini, dan kaidah fiqih mengatakan : “Menghindari keruskan itu lebih didahulukan dari pada mencari maslahat (kebaukan)”.

3. Jima’ membatalkan I’tikaf berdasarkan firman Allah :
“Dan jangan kalian gauli mereka sedang kalian dalam ibadah I’tikaf (di masjid)”.

Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Jika seorang yang I’tikaf melakukan jima’ bata; I’tikafnya, dan hendaklah dia memulainya kembali.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah 3/920 dan Abdurrazzaq 4/363 dengan sanad yang shahih dan yang dimaksud dari kata (Ista’nafa) dalam lafadz 2 hadist adalah mengulangi I’tikafnya). Dan tidak ada kafarah bagi dia karena tidak terdapat dalil dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.

“Maha suci Engkau ya Allah dan dengan memuji-Mu,
aku bersaksi bahwa tiada Illah yang hak melainkan Engkau, aku minta ampun kepada-Mu dan bertaubat Kepada-Mu.”

Selesai mengoreksi dan membenahinya, juga menambahnya dengan tambahan-tambahan baru, dengan pena penulisnya pada fajar hari ahad 26 Rajab tahun 1406 H, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan Shalawat dan salam-Nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang ummi, juga kepada keluarga dan sahabatnya.

(Dinukil dari terjemah kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “I’tikaf”, Hal : 72 - 84 , Penerbit “Cahaya Tauhid Press”)

Zakat Fitrah

Abdullah Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma Berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam Telah mewajibkan zakat fithri dari bulan Ramadhan sebanyak satu sha' kurma, atau satu sha' gandum atas hamba, merdeka, laki-laki, perempuan, kecil maupun dewasa dari orang Islam. (HR. Al-Bukhari 3:473 No.1511 dan muslim : 2:677 No.984)

  1. Definisi:
    Zakat fithrah adalah zakat badan yang dikeluarkan pada akhir bulan Ramadhan berupa makanan pokok sebanyak 1 sha' (± 2,042 kg). Mulai diperintahkan kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam Pada bulan Sya'ban Tahun 2 H.

  2. Hukum
    Zakat fithrah hukumnya wajib sebagaimana disebutkan oleh hadits di atas dan banyak hadits lainnya. Kewajiban ini adalah bagi orang yang mampu membayarkan yaitu orang yang memiliki kelebihan makanan sekeluar-ga pada hari itu (hari idul Fithri)

    Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan zakat fithrah dari anak-anak, orang dewasa, merdeka dan hamba dari orang-orang yang menjadi tanggungan kalian." (HR. Ad-Daruquthni 2: 141, Al-Baihaqi : 4: 165) dari Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhu, Ibnu Syaibah dalam Al-Munshif 4: 37 dengan sanad shahih)

  3. Pembayar
    Semua orang yang disebut dalam hadits di atas berkewajiban membayar zakat fithrah: Anak-anak, orang dewasa, laki-laki, perempuan, orang merdeka maupun budak, yaitu semua orang Islam yang mampu membayar. Seorang ayah mengeluarkan untuk dirinya dan anggota keluarga yang menjadi tanggungannya termasuk bayi yang baru lahir pada akhir bulan Ramadhan sebelum matahari terbenam. Sedangkan janin yang belum lahir tidak diwajibkan. Tidak diwajibkan bagi orang yang meninggal sebelum matahari terbenam (malam hari raya Idul Fithri). Bila orang tua hanya mampu membayarkan untuk dirinya sendiri tidak mampu membayarkan zakat anak-anaknya, maka cukup bagi orang tua itu membayar untuk dirinya saja.
    Orang tua tidak dituntut (diwajibkan) membayarkan zakat untuk anaknya yang sudah baligh yang kaya atau berkelebihan yang bisa membayar zakat fithrahnya sendiri.

  4. Benda yang dizakatkan
    Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas, benda yang dizakatkan adalah kurma, gandum, atau kismis, beras dll. Yang menjadi bahan makanan pokok bagi daerah setempat.
    Abu Said Al-Khudri berkata :
    Dan makanan kami adalah gandum, kismis, Aqith (susu kering/keju) dan kurma. (Al-Bukhari 3:293, 1515 Muslim 985).

  5. Ukuran
    Satu sha' yang sesuai dengan sha' penduduk Madinah, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
    Timbangan itu adalah timbangan penduduk Makkah dan takaran itu adalah takaran penduduk Madinah. (HR. Abu Dawud No. 2340, An Nasa'I : 7:281 dan Al-Baihaqi (6:31) dari Ibnu Umar dengan sanad shahih).

    Yaitu sebanding dengan dua kilo empat puluh dua gram (2,042 kg), karena satu sha' = 480 mitsqal, satu mitsqal : 4,25 gram, maka satu sha' sama dengan 480 x 4,25 gram = 2.040 gram atau 2,04 kg.

  6. Waktu
    Waktu menyampaikan yang paling utama adalah setelah terbit fajar sebelum shalat Idul Fithri berlangsung, namun sebelum Ramadhan berakhir satu atau dua hari juga diperbolehkan.
    Ibnu Umar meriwayatkan, bahwa:
    Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam menyuruh zakat fithri agar ditunaikan sebelum manusia keluar ke shalat Ied. (HR. Al-Bukhari 3:463 No. 1503).

    Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kotor dan sebagai pemberian makan bagi kaum miskin, maka siapa yang menunaikan sebelum shalat (Ied) maka itulah zakat yang diterima, dan siapa yang menunaikannya setelah shalat (Ied) maka itu termasuk sedekah biasa. (HR. Abu Daud 2:111 No. 1609, Ibnu Majah No. 1827, Al-Albani menghasankan dalam Al-Irwa' No. 843).

    Jika ada halangan/udzur sehingga tidak bisa menunaikan kecuali setelah shalat, maka hendaklah ditunaikan.
    Dapat juga dibagikan sehari atau dua hari sebelum Ied sebagaimana dilaksanakan oleh Ibnu Umar (Riwayat Ibnu Khuzaimah 4:83 dari Abdul Warits dari Ayub).

    Sesungguhnya Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhu Menyerahkan zakat fithrah kepada orang-orang yang menerimanya (yang mengelolanya). Mereka adalah petugas yang diangkat oleh imam untuk mengumpulkan zakat, demikian itu sebelum idul fithri,satu hari atau dua hari. (HR. Ibnu Khuzaimah 4:83)
    Saya bertanya: "Kapan Ibnu Umar Menyerahkan zakat fithrah?" Ia menjawab: "Jika petugas sudah siap!" Saya bertanya: "Kapan petugas Siap?" Ia menjawab: "Sebelum Iedul Fitri sehari atau dua hari". (Al-Bukhari/11: 728 No. 6713).

  7. Orang yang berhak menerima
    Zakat Fithrah dibagikan kepada fakir miskin, mereka itulah yang diutamakan sebagaimana hadits tersebut diatas.
    Sebagian ahli fiqih berpendapat zakat fithrah juga untuk: fakir, miskin, amil/petugas, muallaf, budak ingin merdeka, penanggung hutang, pejuang agama Allah, musafir yang butuh bekal. Karena zakat fithrah termasuk zakat yang pembagiannya adalah delapan golongan yang disebut dalam surat At-Taubah ayat 60 (Al-Mughni 4:314).

    Namun yang diutamakan adalah menolong faqir miskin yang taat beribadah. Sebab hadits Rasulullah diatas menunjuk fakir miskin. Sedang shadaqah dalam surat At-Taubah : 60 adalah untuk zakat/ shadaqah yang umum/ (maal). (Majmuatul Fatawa: 13: 47)

  8. Tempat Mengeluarkan
    Zakat fithrah harus dikeluarkan atau dibagikan di daerah tempat sendiri, kecuali bila fuqara dan masakin tempat tinggal itu telah terpenuhi sedang di daerah lain banyak fakir miskin atau yang lebih membutuhkan maka boleh dipindah ke daerah tersebut.

    Bila sedang dalam bepergian maka dibagikan kepada fakir miskin yang ditemukan pada daerah yang ditemui (ditempati) pada saat itu. Membagikan kepada fakir miskin yang dekat hubungan famili : Saudara, paman dll adalah lebih utama, namun bukan kepada orang tua, kakek, anak dan cucu.

    Membagi satu bagian zakat kepada beberapa fakir miskin diperbolehkan, sebagaimana mengumpulkan beberapa bagian zakat (beberapa sha') untuk satu fakir miskin saja. Bila dibagi kepada beberapa orang namun masing-masing hanya mendapat bagian yang sedikit yang tidak mencukupi bagi keluarganya, maka harus dihindari. Namun bila pembagian yang demikian terpaksa dilakukan demi pemerataan maka haruslah ditempuh dan diatur dengan sebijaksana dan sebaik mungkin, sebab syariat yang mulia ini suci dari praktek dan pola yang tidak disetujui oleh akal sehat dan tuntunan yang bijak dari para pendahulu umatnya. (lihat Majmuatul Fatawa : 13:47)
    "Cukupilah mereka di hari ini dari meminta-minta." (HR. Ad-Daruquthni)

  9. Hikmah Zakat

    1. Bagi Pribadi Muslim
      - Membersihkan diri orang yang berpuasa dari perkataan dan perbuatan yang kotor dan sia-sia, melatih gemar berinfaq, berpeduli, bersyukur nikmat, qonaah, toleransi.
      - Mengobati penyakit hati, diri pribadi dan sosial seperti: Bakhil, egois, rakus, tamak, iri, cinta dunia, bahkan permusuhan, penjarahan, kerusuhan, propokasi dll.

    2. Bagi Masyarakat.
      - Memberi jaminan kecukupan bagi fakir miskin minimal di hari itu dari kesusahan dan meminta-minta, menambah kemakmuran sehingga teratasi anak-anak drop-out, kebodohan dan orang-orang sakit.
      - Mewujudkan keamanan masyarakat yang rukun, harmonis, saling membela, menolong dan mencukupi dalam kebajikan, sehingga terwujud cinta dan iman yang hakiki, maka sukseslah hidup/pembangunan, sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur'an surat Al-A'raf 17: 96.

(Waznin Mahfudh).

Sabtu, 05 September 2009

Wanita Ahli Surga Dan Ciri-Cirinya

Setiap insan tentunya mendambakan kenikmatan yang paling tinggi dan abadi. Kenikmatan itu adalah Surga. Di dalamnya terdapat bejana-bejana dari emas dan perak, istana yang megah dengan dihiasi beragam permata, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbetik di hati.

Dalam Al Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan-kenikmatan Surga. Di antaranya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“(Apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (QS. Muhammad : 15)

“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk Surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam Surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek, dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqiah : 10-21)

Di samping mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an yang mulia, di antaranya :

“Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS. Al Waqiah : 22-23)

“Dan di dalam Surga-Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar Rahman : 56)

“Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (QS. Ar Rahman : 58)

“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqiah : 35-37)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggambarkan keutamaan-keutamaan wanita penduduk Surga dalam sabda beliau :

“ … seandainya salah seorang wanita penduduk Surga menengok penduduk bumi niscaya dia akan menyinari antara keduanya (penduduk Surga dan penduduk bumi) dan akan memenuhinya bau wangi-wangian. Dan setengah dari kerudung wanita Surga yang ada di kepalanya itu lebih baik daripada dunia dan isinya.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radliyallahu 'anhu)

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

Sesungguhnya istri-istri penduduk Surga akan memanggil suami-suami mereka dengan suara yang merdu yang tidak pernah didengarkan oleh seorangpun. Di antara yang didendangkan oleh mereka : “Kami adalah wanita-wanita pilihan yang terbaik. Istri-istri kaum yang termulia. Mereka memandang dengan mata yang menyejukkan.” Dan mereka juga mendendangkan : “Kami adalah wanita-wanita yang kekal, tidak akan mati. Kami adalah wanita-wanita yang aman, tidak akan takut. Kami adalah wanita-wanita yang tinggal, tidak akan pergi.” (Shahih Al Jami’ nomor 1557)

Apakah Ciri-Ciri Wanita Surga

Apakah hanya orang-orang beriman dari kalangan laki-laki dan bidadari-bidadari saja yang menjadi penduduk Surga? Bagaimana dengan istri-istri kaum Mukminin di dunia, wanita-wanita penduduk bumi?

Istri-istri kaum Mukminin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tersebut akan tetap menjadi pendamping suaminya kelak di Surga dan akan memperoleh kenikmatan yang sama dengan yang diperoleh penduduk Surga lainnya, tentunya sesuai dengan amalnya selama di dunia. Tentunya setiap wanita Muslimah ingin menjadi ahli Surga. Pada hakikatnya wanita ahli Surga adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki.

Di antara ciri-ciri wanita ahli Surga adalah :

1.
Bertakwa.

2. Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.

3. Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.

4. Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, jika dia tidak dapat melihat Allah, dia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya.

5. Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah, tawakkal kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah, mengharap rahmat Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.

6. Gemar membaca Al Qur’an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah semata.

7. Menghidupkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.

8. Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.

9. Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang, menahan pemberian kepada dirinya, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.

10. Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.

11. Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk.

12. Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).

13. Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.

14. Berbakti kepada kedua orang tua.

15. Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.

Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman :

“ … dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’ : 13).

Wallahu A’lam Bis Shawab.

MENEPATI JANJI

“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertangungjawabannya”

(Q.S. Al-Isra’ 17 : 34 )


“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji…”

(QS. An-Nahl 16 : 91)

“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,

Tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga : jika berkata dusta, jika berjanji mengingkari,

dan jika doberi amanat dia mengkhianati”.

(Mutaffaqun ‘alaihi)


Memenuhi Janji merupakan karakter kebaikan dalam islam dan jika dilakukan seseorang akan terbentuk pribadi yang memiliki matinul khuluq.

Janji merupakan fenomena yang selalu terjadi dalam kehidupan manusia, baik janji manusia dengan al-Khaliq maupun janji dengan sesama manusia.

Janji seorang muslim kepada Allah SWT yaitu janji menyembah dan memohon pertolongan hanya pada-Nya

“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan” (QS 1: 5),

dan janji mempersembahkan shalat-ibadah-hidup-mati hanyalah bagi-Nya “Katakan, : sesungguhnya shalatkan, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Rabb sekalian alam”.(QS 6: 162).

Janji tersebut hendaknya dipenuhi dan dilaksanakan dengan ikhlas dan istiqamah. Bahkan salah satu ciri orang yang berilmu pengetahuan adalah berjanji untuk memenuhi janji dengan Allah SWT dan tidak merusak perjanjian , (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian,
(QS 13: 20).

Dalam kaitannya dengan janji kepada sesama manusia, maka hendaklah diperhatikan bahwa janji harus untuk hal/perkara yang haq. Bila terlanjur janji untuk perkara yang bathil, hendaknya istighfar dan membatalkan janji tersebut.

Memenuhi janji juga termasuk membiasakan untuk selalu memulangkan barang orang lain yang kita pinjam.

Dalam kaitannya dengan janji, maka Allah SWT memerintahkan agar memenuhi janji, sebagaimana ayat yang telah kami paparkan di atas (QS 7: 34, 16: 91).

Rasulullah bersabda bahwa tidak memenuhi janji adalah salah satu ciri kemunafikan :

“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, Tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga : jika berkata dusta, jika berjanji mengingkari, dan jika diberi amanat dia mengkhianati”. (Mutaffaqun ‘alaihi)

Makna hadits tersebut adalah bahwa perangai ini merupakan perangaii kemunafikan. Orang yang memiliki perangai tersebut maka dia menyerupai orang-orang munafik dalam perangai ini dan dia telah berkahlak dengan akhlak mereka.

Oleh karena itu tiap muslim hendaknya berhati-hati dalam berjanji. Kewajiban memenuhi janji tidak memandang kepada siapa janji diberikan; kepada sesama muslim, yang bukan muslim, anak kecil, khadam/khadimah, orang yang dihormati, dan fihak lain.

‘Insya Allah’, yang artinya jika Allah SWT mengizinkan, hendaknya disampaikan pada saat berjanji. Hendaknya ‘Insya Allah’ tidak disalahgunakan berkilah bila diperkirakan tidak akan dapat memenuhi janji, lebih baik jangan berjanji.

Janji hendaknya yang realistis dan diperhitungkan dapat dipenuhi. Jangan menjanjikan sesuatu yang diketahui tidak akan mampu dipenuhi dengan berlindung di balik ‘Insya Allah’. Ingatlah sabda Rasulullah Saw. bahwa kita dapat tergelincir menjadi golongan munafiq bila menyalahi janji atau tidak memenuhi janji sudah menjadi sifat yang melekat.

Menepati janji adalah perintah Allah, sebagaimana firman-Nya :


“Dan penuhilah janji, ” (Q.S. Al-Isra’ : 34 )

Sedangkan melanggar setiap perjanjian antara seorang muslim dan lainnya adalah haram. Meskipun yang diajak menetapkan perjanjian tersebut adalah orang kafir. Dengan orang kafir saja wajib memenuhinya, apalagi dengan seorang muslim, tentu kawijiban memenuhinya adalah lebih utama.

Adapun mengingkari janji termasuk dosa besar.

Mengkingkari janji adalah dua macam : pertama : berjanji dan berniat tidak memenuhinya, ini adalahperangai makhluk yang paling jahat.

Kedua : Berjanji dan berniat memenuhinya, kemudian tatkala tiba saatnya, dia mengingkarinya tanpa memiliki udzur.

Memenuhi janji merupakan bagian dari perangai jiwa yang mulia, akhklak yang utama, etika yang terpuji, dan orangnya mempunyai kedudukan yang agung di mata manusia, serta digolongkan orang yang jujur oleh orang yang memiliki dugaan yang buruk.

Bahkan orang baduipun berkata : “janji orang yang mulia langsung dipenuhi dan disegerakan, sedangkan janji orang yang rendah selalu ditunda dengan mengutarakan berbagai alas an dalam penundaannya”.

Orang badui tersebut juga berkata : “Udzur yang baik lebih bagus daripada penundaan yang lama”.